Altiplano Lauca: Bertemu Vicuña di Dataran Tinggi
- Agustus 9, 2025
- Destinasi Terbaik | Indonesia | Tips dan Panduan | Wisata
- No Comments

Altiplano Lauca: Bertemu Vicuña di Dataran Tinggi Chile
Scrolling Instagram jam 2 pagi itu, saya tiba-tiba berhenti di sebuah foto. Seekor vicuña dengan mata besar dan bulu halus sedang menatap kamera dari hamparan dataran tinggi yang luas. Captionnya: “Parque Nacional Lauca, Chile”. Saya screenshot tanpa pikir panjang.
Baca Juga: Salinas de Surire: Tarian Flamingo di Danau Ajaib
“Gila lu mau ke ketinggian 4.500 meter?” WhatsApp dari teman saya muncul begitu saya share foto itu ke grup. “Itu udah kayak base camp Everest, bro. Mau mati apa?”
Sejujurnya, saya juga agak khawatir. Selama ini paling tinggi cuma ke Dieng, itu pun udah sesak napas. Tapi entah kenapa, ada sesuatu dari foto vicuña itu yang bikin saya penasaran banget. Mungkin matanya yang polos, atau mungkin karena saya lagi jenuh sama pantai-pantai mainstream di Indonesia.
Proses booking tiket ke Chile dadakan itu bikin deg-degan. Saya googling “altitude sickness symptoms” sampai jam 4 pagi, baca forum-forum tentang orang yang pingsan di dataran tinggi, bahkan sempat nonton video orang muntah-muntah gara-gara kurang oksigen. Tunggu, sebenarnya saya sudah lama penasaran sama Chile… Dari dulu pengen ke Atacama Desert, tapi selalu tertunda karena budget. Nah, Lauca ini kan masih satu negara, jadi bisa sekalian.
Akhirnya saya putuskan: “Ah, worst case scenario ya balik lagi ke hotel.” Famous last words.

Perjalanan Menuju Ujung Dunia (Yang Ternyata Tidak Sejauh Itu)
Dari Arica, ada dua pilihan: naik bus lokal atau sewa mobil. Saya pilih bus karena lebih murah dan katanya lebih aman untuk pendaki pemula. Ternyata, keputusan yang tepat sekaligus salah.
Tepat karena sopir busnya udah hapal banget rute ini. Dia tahu kapan harus pelan-pelan biar penumpang adaptasi dengan ketinggian, kapan harus berhenti buat istirahat. Salah karena… well, saya ga bisa berhenti sesuka hati buat foto.
Bus berangkat jam 6 pagi. Saya udah siap-siap dari jam 5, cek baterai HP, powerbank, kamera, obat-obatan. Eh, ternyata ada masalah: baterai HP saya udah drop 20% padahal baru dicabut dari charger. Panik dong, soalnya saya andalin banget HP buat foto dan GPS offline.
Pemandangan berubah drastis dalam 2 jam pertama. Dari pantai Arica yang panas dan berdebu, tiba-tiba kita udah di antara pegunungan dengan udara yang mulai tipis. Yang bikin excited, sinyal HP mulai hilang total. Awalnya stress, tapi lama-lama jadi blessing in disguise. Akhirnya saya bisa fokus sama pemandangan tanpa gangguan notifikasi WhatsApp.
Tips Praktis Transportasi (Yang Saya Pelajari dengan Cara Susah)
Perbandingan biaya real per Desember 2024:
– Bus lokal: 15.000 peso (sekitar 200 ribu rupiah) one way
– Sewa mobil: 45.000 peso per hari plus bensin (sekitar 700 ribu rupiah)
– Tour group: 80.000 peso include makan (sekitar 1,2 juta rupiah)
Aplikasi offline maps yang bener-bener berguna: Maps.me dan OsmAnd. Google Maps offline lumayan, tapi detailnya kurang. Saya download semua tiga-tiganya, untung aja karena sinyal beneran hilang total.
Baca Juga: Viña del Mar: Monaco-nya Amerika Selatan

Stasiun pengisian terakhir sebelum masuk taman ada di Putre. Setelah itu, ya udah, semoga aja powerbank awet. Pro tip: bawa minimal 2 powerbank kalau mau foto-foto banyak.
Shock Pertama: Ketinggian Bukan Bercanda
Begitu turun dari bus di altitude 4.200 meter, langsung kerasa. Napas jadi berat, kepala agak pusing, jantung berdebar kencang. Dan ini baru awal, belum sampe puncak di 4.500 meter.
“Coca tea?” tanya guide lokal sambil nyodorin gelas plastik. Saya udah baca di internet kalau coca tea ini overrated, cuma placebo effect. Ternyata… masih overrated sih. Rasanya pahit, efeknya minimal. Yang lebih efektif: jalan pelan-pelan, napas dalam-dalam, dan banyak minum air putih.
Ritme berjalan saya berubah total. Biasanya bisa jalan cepat berjam-jam, sekarang 10 langkah udah harus istirahat. Yang bikin kesel, guide lokal dan sopir bus bisa santai banget, ngobrol sambil jalan kayak lagi di pantai. Saya tanya kenapa, dia bilang: “Sudah terbiasa dari kecil, pak. Saya lahir di ketinggian 3.800 meter.”
Oh ini kenapa disebut roof of the world… Bener-bener berasa di atas dunia, tapi sekaligus berasa kayak ikan di luar air.

Vicuña: Dari Ekspektasi Disney ke Realitas Wild
Ekspektasi saya tentang vicuña itu kayak llama lucu di petting zoo yang bisa didekati dan difoto sesuka hati. Reality check: mereka wild animals yang super waspada dan cerdas.
Pertemuan pertama dengan kawanan vicuña itu dari jarak sekitar 200 meter. Saya pakai binokuler yang saya beli dadakan di Arica (untung ada toko outdoor gear di sana). Begitu saya coba mendekat, mereka langsung alert. Kepala terangkat, telinga tegak, siap kabur kapan saja.
Pengalaman foto gagal total. Saya udah setup kamera, atur angle, eh mereka udah kabur duluan. Ranger yang ikut bilang: “Vicuña itu punya sistem peringatan dini yang canggih. Satu individu selalu jadi penjaga, kalau ada bahaya langsung kasih sinyal ke kawanan.”
Belajar dari ranger, saya jadi paham kenapa mereka begitu pemalu. Vicuña pernah hampir punah karena diburu untuk bulunya yang sangat halus dan mahal. Sekarang populasinya udah pulih, tapi instinct untuk menghindari manusia masih kuat banget.
Ternyata yang di foto Instagram itu hasil menunggu 3 jam! Saya baru sadar kalau foto-foto vicuña yang bagus itu butuh kesabaran luar biasa. Photographer profesional bisa menunggu seharian cuma buat dapet satu frame yang perfect.
Etika Wildlife Watching yang Saya Pelajari di Lapangan
Jarak aman yang real: minimal 50 meter dari kawanan. Kalau mereka mulai gelisah dan berhenti makan, berarti kita udah terlalu dekat. Saya sempat lihat turis lain yang maksa mendekat sampai 20 meter, vicuña-nya langsung stress dan kabur semua.
Baca Juga: Isla Negra: Rumah Penyair Terbesar Chile

Kenapa flash kamera dilarang keras: mata vicuña sensitif banget, flash bisa bikin mereka panik dan berpotensi injury karena lari terburu-buru di terrain yang berbatu.
Yang paling bikin kesel, ada turis yang nyoba kasih makan vicuña dengan snack. Ranger langsung marah: “Makanan manusia bisa bikin mereka sakit, bahkan mati. Mereka herbivora yang udah adapted sama vegetasi altiplano.”
Altiplano: Ketika Kosong Justru Penuh Makna
Hamparan Altiplano Lauca itu… overwhelming. Bayangkan padang rumput seluas mata memandang, dikelilingi gunung-gunung tinggi dengan puncak bersalju, dan langit yang begitu biru sampai bikin mata perih. Tapi yang bikin speechless bukan cuma pemandangannya, melainkan perasaan kecil di alam semesta.
Sunrise di ketinggian 4.500 meter itu experience yang ga akan pernah saya lupakan. Udara dingin banget, napas keluar kayak asap, tapi begitu matahari muncul dari balik gunung, seluruh landscape berubah warna dari biru gelap jadi emas kemerahan. Moment itu bikin saya nangis – entah karena terharu atau karena kurang oksigen.
Interaksi dengan komunitas Aymara juga unexpected banget. Mereka udah tinggal di altiplano ini selama ribuan tahun, punya wisdom tentang hidup di ketinggian yang ga bisa kita pelajari dari Google. Seorang nenek Aymara bilang ke saya: “Altiplano itu tidak kosong. Dia penuh dengan roh leluhur dan kehidupan yang tidak terlihat mata.”
Apa saya jadi terlalu filosofis gara-gara kurang oksigen? Entahlah, tapi ada sesuatu di tempat ini yang bikin saya reflektif. Mungkin karena jarang banget ada tempat di dunia ini yang begitu quiet dan vast pada saat yang bersamaan.

Fotografi di Altiplano: Challenge Level Expert
Masalah utama: kondensasi kamera. Perbedaan suhu yang ekstrem antara pagi dan siang bikin lensa berembun terus. Saya bawa silica gel dan kain microfiber, tapi tetep aja ga cukup. Akhirnya saya biarkan kamera adaptasi dulu sebelum dipake.
Golden hour di altiplano beda banget sama di tempat lain. Karena udaranya tipis, cahaya lebih intense dan kontras lebih tinggi. Hasil fotonya dramatis banget, tapi challenging buat exposure yang tepat.
Teknik komposisi untuk landscape yang “terlalu luas” ini tricky. Saya belajar pakai foreground elements kayak batu atau tanaman kecil buat kasih sense of scale. Tanpa itu, foto cuma keliatan flat dan ga ada depth.
Realitas Praktis: Budget, Waktu, dan Ekspektasi
Breakdown biaya real selama 3 hari 2 malam:
– Transportasi Arica-Lauca: 30.000 peso (400 ribu rupiah)
– Accommodation di Putre: 25.000 peso per malam (330 ribu rupiah)
– Makan: 15.000 peso per hari (200 ribu rupiah)
– Tiket masuk taman: 3.000 peso (40 ribu rupiah)
– Miscellaneous (obat, gear): 20.000 peso (270 ribu rupiah)
Total: sekitar 1,8 juta rupiah. Lebih murah dari ekspektasi, tapi ada hidden cost yang ga kepikiran: biaya obat altitude sickness, extra gear kayak jaket tebal, dan powerbank tambahan.
Baca Juga: Cueva del Milodón: Jejak Raksasa Prasejarah

Waktu terbaik berkunjung: April-Oktober (musim kering). Saya kesana bulan Agustus, weather perfect tapi angin kencang banget. Kalau mau lihat vicuña dengan anak-anaknya, datang bulan November-Januari.
Packing list yang bener-bener diperlukan: jaket windproof, sleeping bag rating -10°C, sunglasses dengan UV protection tinggi, dan obat sakit kepala. Yang cuma menghabiskan space: baju ganti terlalu banyak (3 hari cukup 1 set ganti), sepatu hiking berat (cukup sepatu trail running), dan kamera lensa tele panjang (50-200mm udah cukup).
Saya nyesel ga bawa powerbank yang lebih besar. Cuaca dingin bikin baterai drop lebih cepat, dan tanpa listrik di camping area, powerbank 10.000mAh cuma bertahan 1,5 hari.
Pulang dengan Hati yang Tertinggal
Hari terakhir, saat naik bus balik ke Arica, saya bener-bener reluctant to leave. Ada perasaan kayak ninggalin bagian dari diri di altiplano. Mungkin karena selama 3 hari itu hidup jadi simple banget: bangun, lihat vicuña, kagum sama pemandangan, tidur. Ga ada drama, ga ada deadline, ga ada notifikasi.
Vicuña terakhir yang saya lihat dari jendela bus itu kayak lagi ngucapin goodbye. Dia berdiri sendirian di bukit kecil, silhouette-nya kontras sama langit biru. Saya foto lewat kaca bus yang kotor, hasilnya blur, tapi somehow itu jadi foto favorit saya dari trip ini.
Perjalanan ini mengubah perspektif saya tentang “liburan”. Selama ini saya pikir liburan itu harus rame, harus ada activities, harus Instagrammable. Ternyata kadang yang kita butuh itu justru ketenangan dan ruang untuk refleksi.

Sekarang kalau ada yang tanya tempat favorit… Saya selalu sebut Lauca. Bukan karena pemandangannya yang spectacular (meski memang spectacular), tapi karena tempat itu ngajarin saya untuk slow down dan appreciate small things. Vicuña yang cuma berdiri diam pun bisa jadi momen yang meaningful.
Saya udah janji sama diri sendiri untuk balik lagi, mungkin tahun depan. Kali ini mau coba camping di tengah altiplano, biar bisa lihat Milky Way yang katanya amazing banget di ketinggian segitu. Dan hopefully, bisa dapet foto vicuña yang lebih bagus – dengan kesabaran yang lebih besar.
Altiplano Lauca itu bukan cuma destinasi wisata. Dia tempat yang ngajarin kita tentang resilience, adaptasi, dan kekuatan alam. Vicuña-vicuña di sana survive di kondisi ekstrem dengan grace dan dignity. Kita sebagai manusia bisa belajar banyak dari mereka.
Catatan penting: Ini pengalaman pribadi saya di Agustus 2024. Kondisi cuaca, harga, dan regulasi bisa berubah sewaktu-waktu. Selalu cek informasi terbaru sebelum berangkat, dan konsultasi dengan dokter kalau punya masalah kesehatan yang bisa diperparah oleh ketinggian.
Tentang penulis: Budi Wijaya berdedikasi untuk berbagi pengalaman perjalanan nyata, tips praktis, dan perspektif unik, berharap membantu pembaca merencanakan perjalanan yang lebih santai dan menyenangkan. Konten asli, menulis tidak mudah, jika perlu mencetak ulang, harap catat sumbernya.