Ngider Nusantara

Lebih dari sekadar wisata – menyelami budaya, tradisi, dan kehangatan masyarakat Indonesia melalui mata seorang penjelajah.

Santiago: Perpaduan Sempurna Tradisi dan Modernitas

Santiago: Perpaduan Sempurna Tradisi dan Modernitas



Jujur aja, saat pertama kali memutuskan untuk ke Santiago, saya sempat ragu. “Chile? Serius?” tanya teman-teman. Kebanyakan orang Indonesia kan lebih familiar dengan Buenos Aires atau Rio de Janeiro kalau bicara Amerika Selatan. Santiago rasanya seperti pilihan yang… aneh? Tapi entah kenapa, justru keanehan itu yang bikin saya penasaran. Plus, tiket pesawatnya lumayan affordable dibanding destinasi lain di benua yang sama (sekitar 18 juta PP dari Jakarta via Dubai, per Juli 2025).

Baca Juga: Salinas de Surire: Tarian Flamingo di Danau Ajaib

Yang bikin saya makin yakin adalah foto-foto di Instagram yang menunjukkan latar belakang pegunungan Andes yang dramatis. Sebagai pecinta fotografi, saya bayangin bakal dapet banyak golden hour shots yang epic. Ternyata… well, realitanya agak berbeda dari ekspektasi. Tapi justru perbedaan itulah yang bikin perjalanan ini memorable.

Kesan Pertama yang Membingungkan (tapi Menyenangkan)

Begitu keluar dari Comodoro Arturo Merino Benítez Airport, hal pertama yang saya rasakan adalah udaranya yang… kering banget. Padahal di kepala saya, Santiago tuh pasti sejuk dan segar karena deket pegunungan. Ternyata smog-nya cukup terasa, terutama di musim ini (winter yang lagi transisi ke spring). “Kok nggak seperti yang saya bayangin ya…” gumam saya sambil nyalain kamera untuk test shot pertama.

Arsitektur di sekitar airport juga bikin saya bingung dalam artian positif. Ada yang modern banget, ada yang colonial Spanish, terus tiba-tiba ada building yang kayak brutalist concrete. Campuran yang aneh tapi somehow works gitu. Saya sempat foto-foto random sambil nunggu Uber, eh ternyata aplikasinya agak beda dari yang biasa saya pake di Jakarta. Harus download Uber Chile yang terpisah, dan WiFi airport-nya… ya gitu deh, typical airport WiFi yang bikin frustrasi.

Btw, soal transportasi dari airport, saya sempat trial and error nih. Awalnya mau naik bus Centropuerto (sekitar 1,800 pesos Chilean atau sekitar 30 ribu rupiah), tapi antrinya panjang banget dan saya lagi bawa koper gede. Akhirnya ambil Uber yang kena sekitar 15,000 pesos (250 ribu rupiah) ke centro. Mahal? Iya. Worth it karena driver-nya ramah dan kasih mini city tour gratis sambil ngobrol pake broken English campur Spanish? Definitely.

Tips Praktis Arrival – Menghemat Waktu dan Uang

Kalau mau hemat, ambil bus Centropuerto terus sambung ke Metro. Total cuma sekitar 3,000 pesos (50 ribu rupiah) vs Uber yang bisa 15,000 pesos. Tapi ya harus siap sama hassle-nya. Yang penting banget, langsung beli kartu BIP di airport buat Metro. Jangan seperti saya yang stubborn mau bayar cash di setiap stasiun – ribet dan bikin antri orang belakang kesel.

Santiago: Perpaduan Sempurna Tradisi dan Modernitas
Gambar terkait dengan Santiago: Perpaduan Sempurna Tradisi dan Modernitas

Satu lagi, kalau lo pake iPhone, pastiin udah download Google Translate offline buat Spanish. Signal di beberapa area Metro agak lemot, dan Google Translate jadi lifesaver banget buat baca signage atau ngobrol sama locals. Trust me on this one.

Barrio Bellavista – Dimana Jiwa Bohemian Bertemu Instagram

Ekspektasi saya tentang Bellavista itu kayak Montmartre-nya Paris atau Greenwich Village-nya New York. Bohemian, artsy, penuh seniman lokal yang authentic. Kenyataannya? Ya ada sih vibe-nya, tapi juga penuh banget sama tourist trap dan restoran yang obviously catering ke gringo. Sempat kecewa dikit, honestly.

Tapi tunggu – ternyata saya salah tentang cara explore Bellavista. Jangan stuck di Pío Nono street yang ramai itu. Masuk aja ke gang-gang kecil di belakangnya. Di situ saya nemu mural-mural yang nggak ada di Google Maps, warung kopi kecil yang owner-nya seniman lokal, dan atmosfer yang beneran authentic. Salah satu coffee shop (lupa namanya, tapi di Antonia López de Bello street) punya owner yang bisa ngobrol English lumayan, dan dia cerita soal scene seni Santiago yang sebenarnya.

Yang bikin frustasi adalah sinyal di area ini spotty banget. Berkali-kali saya mau upload foto ke Instagram story, eh loading terus. Battery anxiety is real guys, apalagi kalau lo tipe yang suka foto-foto terus edit di Lightroom mobile. Powerbank jadi bestfriend banget di sini.

Pablo Neruda’s House – Lebih dari Sekedar Museum

La Chascona (rumah Neruda di Bellavista) itu experience yang unexpected emotional. Saya datang expecting typical house museum yang boring, ternyata guided tour-nya engaging banget. Yang bikin special adalah detail-detail kecil yang guide ceritain – kayak kenapa Neruda koleksi botol-botol aneh, atau story di balik setiap ruangan.

Ada satu momen yang memorable banget. Di ruang kerjanya, guide nunjukin mesin tik Neruda yang masih ada, dan somehow bau ruangan itu bikin saya nostalgia. Padahal kan saya nggak pernah ke situ sebelumnya. Mungkin karena bau buku-buku lama dan kayu yang udah aged? Atau mungkin karena lighting-nya yang warm banget, perfect buat foto portrait kalau diizinkan (sayangnya nggak boleh foto di dalam).

Santiago: Perpaduan Sempurna Tradisi dan Modernitas
Gambar terkait dengan Santiago: Perpaduan Sempurna Tradisi dan Modernitas

Pro tip yang jarang disebutin travel blog: datang pas opening jam 10 pagi. Sepi, guide-nya lebih santai ngobrol, dan lo bisa dapet foto exterior yang bagus tanpa photobomb turis lain.

Baca Juga: Viña del Mar: Monaco-nya Amerika Selatan

Street Art Scene – Antara Apresiasi dan Komersialisasi

Bellavista emang surga buat street art, tapi saya sempat dilema internal nih. Sebagai fotografer, saya pengen dapet foto yang Instagram-worthy, tapi di sisi lain pengen appreciate karya seninya secara genuine. Akhirnya saya putuskan buat ngobrol dulu sama salah satu street artist yang lagi nge-spray di dinding.

Percakapan kita campuran broken Spanish, English, sama gesture yang banyak banget. Dia cerita kalau banyak mural di Bellavista yang udah jadi komoditas turis, tapi masih ada spot-spot yang authentic. He pointed me to some hidden alleys yang nggak bakal lo temuin kalau ikut typical street art tour.

Yang saya skip adalah street art tour yang ditawarin sama beberapa agency (sekitar 25,000 pesos atau 400 ribu rupiah). Menurut saya, explore sendiri lebih rewarding, plus lo bisa ngobrol langsung sama artist-nya kalau beruntung ketemu yang lagi kerja.

Centro Histórico – Ketika Masa Lalu Bertabrakan dengan Kehidupan Modern

Centro Santiago itu visual shock yang pleasant. Dalam radius 500 meter, lo bisa liat colonial building yang masih terawat, glass tower yang futuristic, sama street vendor yang jualan empanada pake gerobak kayu tradisional. Kontrasnya striking banget, dan sebagai fotografer, saya excited banget sama komposisi yang bisa dapet di sini.

Yang unexpected adalah betapa modern-nya payment system di area ini. Warung empanada yang owner-nya bapak-bapak tua pun udah nerima pembayaran contactless. Saya yang udah siap-siap tuker uang cash malah kebanyakan nggak kepake. Chile emang advanced banget soal digital payment, even compared to Jakarta.

Ada satu encounter yang memorable banget. Saat lunch break (sekitar jam 1 siang), saya duduk di Plaza de Armas sambil makan empanada. Ada office worker yang duduk di sebelah, terus kita ngobrol. Dia curious kenapa ada turis Indonesia di Santiago (apparently jarang banget), dan saya curious tentang work-life balance di Chile. Turns out, Chilean work culture lumayan relaxed compared to what I expected.

Santiago: Perpaduan Sempurna Tradisi dan Modernitas
Gambar terkait dengan Santiago: Perpaduan Sempurna Tradisi dan Modernitas

Plaza de Armas – Jantung yang Masih Berdetak

Plaza de Armas itu perfect spot buat people watching. Saya bisa duduk berjam-jam di situ sambil observe interaksi orang-orang. Ada street performer, chess players, office workers yang lunch break, turis yang confused (kayak saya awalnya), dan locals yang kayaknya udah rutinitas lewat situ setiap hari.

Yang bikin saya aware soal safety adalah ada attempt pickpocket yang saya witness. Nggak ke saya sih, tapi ke turis lain yang obvious banget pegang map sambil bengong. Sejak itu saya lebih aware sama surrounding, terutama kalau lagi asyik foto-foto. Basic rule: jangan terlalu obvious jadi turis, simpan kamera di tas kalau lagi nggak dipake, dan always be aware of your surroundings.

Saat saya menulis ini (sambil duduk di cafe deket plaza), ada teman WhatsApp yang tanya “gimana Santiago? Worth it nggak?” Honestly, susah dijawab dalam satu kata. Worth it? Definitely. Tapi bukan dalam cara yang saya expect sebelumnya.

Mercado Central – Sensory Overload yang Menyenangkan

Mercado Central itu assault to the senses dalam artian yang baik. Bau ikan segar, suara vendor yang teriak-teriak jualan, warna-warni seafood yang vibrant – semua jadi satu dalam chaos yang somehow organized. Sebagai orang Indonesia yang udah biasa sama pasar tradisional, saya expect bakal familiar, ternyata tetep culture shock juga.

Yang bikin awkward adalah saya nggak tau etika tawar-menawar di sini. Di Indonesia kan wajar kalau tawar, tapi di sini kayaknya nggak gitu. Saya sempat coba tawar harga empanada de mariscos, eh malah diliatin aneh sama vendor-nya. Akhirnya saya bayar sesuai harga yang diminta sambil awkward smile.

Observasi menarik: waste management di sini lebih organized dibanding pasar tradisional di Indonesia. Ada sistem segregation yang jelas, dan nggak banyak sampah berserakan. Mungkin karena regulasi pemerintah yang strict, atau memang culture-nya udah aware soal environmental impact.

Baca Juga: Rahasia Pulau Paskah: Jejak Peradaban Kuno yang Terlupakan

Santiago: Perpaduan Sempurna Tradisi dan Modernitas
Gambar terkait dengan Santiago: Perpaduan Sempurna Tradisi dan Modernitas

Las Condes vs Providencia – Tale of Two Worlds

Pindah dari Centro ke Las Condes itu kayak teleport ke different world. Suddenly everything is shiny, clean, dan mahal. Mall-nya kayak mall premium di Jakarta, restaurant-nya fancy, dan orang-orangnya dress up lebih proper. Kontras yang striking banget sama street vibe di Bellavista atau Centro.

Naik Metro di rush hour (sekitar jam 6 sore) itu experience yang… intense. Packed banget, tapi orang-orangnya polite. Nggak ada yang dorong-dorongan kayak di KRL Jakarta, tapi tetep crowded. Yang bikin saya culture shock adalah betapa quiet-nya. Orang-orang nggak ngobrol loud, mostly main HP atau dengerin musik pake earphone. Very different dari commuter culture di Jakarta yang lebih… vocal.

Shopping di Costanera Center vs pasar lokal itu beda banget experience-nya. Costanera Center impressive sih – tallest building in Latin America, view-nya bagus, tapi harga-harganya… ya typical shopping mall premium lah. Sementara kalau belanja di local market atau street vendor, harganya lebih reasonable dan lo dapet authentic interaction sama locals.

Skyline Views – Worth the Hype or Overrated?

Sky Costanera (observation deck di Costanera Center) itu classic case of expectation vs reality. Harga tiketnya 7,000 pesos (sekitar 115 ribu rupiah), dan saya expect bakal dapet panoramic view yang epic buat foto. Kenyataannya, hari saya ke sana berkabut banget. Andes mountains yang supposed to be dramatic backdrop? Barely visible.

Tapi you know what? Bad weather jadi blessing in disguise. Kabut yang thick bikin cityscape jadi moody dan atmospheric. Foto-foto yang saya dapet malah lebih artistic dibanding typical clear-day skyline shots. Sometimes the best shots come from unexpected conditions.

Pro tip: kalau cuaca lagi nggak bagus, jangan langsung cancel. Ask dulu sama staff kapan visibility biasanya better. Mereka bilang early morning (around 8-9 AM) atau late afternoon (around 5-6 PM) usually clearer. Plus crowd-nya juga lebih sedikit di jam-jam itu.

Santiago: Perpaduan Sempurna Tradisi dan Modernitas
Gambar terkait dengan Santiago: Perpaduan Sempurna Tradisi dan Modernitas

Kehidupan Sehari-hari Santiago – Beyond Tourist Bubble

Yang bikin saya appreciate Santiago adalah observing daily life yang beyond tourist attractions. Morning commute culture di sini interesting banget. Coffee culture-nya strong – hampir setiap corner ada coffee shop atau cafe kecil, dan orang-orang beneran take time buat enjoy coffee mereka, nggak kayak grab-and-go culture.

Saya sempat grocery shopping di supermarket lokal (Lider) buat beli snacks dan air mineral. Culture shock pertama: portion size-nya reasonable, nggak super-sized kayak di US. Kedua: variety produk lokal yang saya nggak familiar sama sekali. Saya spend hampir satu jam di situ just exploring dan trying to figure out what things are.

Ada momen sweet di laundromat deket hostel saya. Owner-nya ibu-ibu yang nggak bisa English, tapi she was so patient trying to explain cara pake mesin cuci sambil gesturing. We ended up laughing together karena komunikasi kita yang absurd tapi somehow effective. Moments like this yang bikin travel memorable – bukan cuma attractions, tapi human connections.

Food Scene – Dari Completo sampai Fine Dining

Chilean food scene itu underrated banget. Completo (Chilean hot dog) yang awalnya saya skeptical ternyata comfort food yang addictive. Ada satu warung completo di Providencia yang jadi go-to saya setiap hari. Owner-nya hafal pesanan saya after day ketiga – completo italiano (avocado, tomato, mayo) dengan bebida (soft drink) cuma 3,500 pesos total (sekitar 58 ribu rupiah).

Di sisi lain, fine dining scene-nya juga impressive. Saya splurge satu malam di restaurant di Las Condes yang serve modern Chilean cuisine. Price range-nya sekitar 25,000-35,000 pesos per person (400-580 ribu rupiah) untuk full course meal dengan wine pairing. Expensive? Yes. Worth it untuk experience authentic Chilean flavors yang elevated? Absolutely.

Yang menarik adalah tipping culture di sini. Di warung-warung kecil, tipping nggak expected. Tapi di restaurant yang proper, 10% tip is standard. Dan mereka nggak automatically add service charge kayak di beberapa negara Asia, jadi lo harus conscious effort buat kasih tip.

Baca Juga: Copiapó: Kota Emas di Gurun Atacama

Practical Wisdom – Yang Nggak Ada di Guidebook

Transportation Hacks

Metro Santiago efficient banget, tapi ada pattern yang worth knowing. Rush hour (7-9 AM dan 6-8 PM) itu packed banget, especially Line 1 yang connect major business districts. Kalau lo nggak terburu-buru, better avoid jam-jam itu.

Santiago: Perpaduan Sempurna Tradisi dan Modernitas
Gambar terkait dengan Santiago: Perpaduan Sempurna Tradisi dan Modernitas

Satu hal yang saya learn the hard way: beberapa Metro station punya multiple exits, dan lo bisa keluar di block yang completely different dari yang lo expect. Always check signage atau tanya petugas kalau confused. Saya pernah keluar di wrong exit dan ended up walking 15 minutes extra karena too proud to ask for directions.

Weather & Seasonal Considerations

Juli-August (winter) di Santiago itu unpredictable. Pagi bisa sunny, siang mendung, sore hujan. Layer clothing is key. Yang saya regret adalah nggak bawa jaket yang proper waterproof. Jaket yang saya bawa water-resistant doang, jadi pas kena hujan deras satu hari, saya basah kuyup dan harus beli jaket baru di mall.

Smog level juga varies depending on weather. Kalau lagi windless day, smog-nya thick banget dan visibility poor. Kalau ada angin atau habis hujan, udara jadi clearer dan view ke Andes mountains jadi spectacular. Check weather forecast nggak cuma buat rain, tapi juga wind patterns.

Cultural Navigation

Personal space di Chile lebih generous dibanding di Indonesia. Orang-orang nggak comfortable dengan close physical proximity unless they know you well. Handshake is standard greeting, tapi cheek kiss (like in some Latin American countries) nggak common di Santiago.

Language barrier itu real, tapi Chilean people generally patient dan helpful. Google Translate jadi lifesaver, tapi learn basic Spanish phrases like “gracias”, “por favor”, “disculpe” – it goes a long way in showing respect untuk local culture.

Refleksi Akhir – Santiago yang Tertinggal di Hati

Saat nunggu boarding di airport buat pulang, saya reflect tentang apa yang bikin Santiago special. Bukan karena iconic landmarks atau Instagram-worthy spots (though those exist too), tapi karena unexpected discoveries dan genuine human interactions yang happen along the way.

Santiago: Perpaduan Sempurna Tradisi dan Modernitas
Gambar terkait dengan Santiago: Perpaduan Sempurna Tradisi dan Modernitas

Yang paling saya miss adalah morning routine saya di cafe kecil deket hostel. Owner-nya udah hafal saya mau order apa, dan dia always greet dengan smile yang genuine. Simple interactions like that yang bikin saya feel connected to the city, even as a short-term visitor.

Kalau ada kesempatan balik lagi, saya pengen explore areas yang nggak sempet saya visit – kayak Valparaíso yang cuma 2 jam dari Santiago, atau wine regions di sekitar city. Santiago itu good base buat explore Chile yang lebih luas, dan saya barely scratch the surface.

Buat future travelers yang consider Santiago: don’t expect typical Latin American experience yang colorful dan vibrant 24/7. Santiago lebih subtle, lebih sophisticated, dan butuh effort lebih buat appreciate. Tapi kalau lo open-minded dan willing to look beyond surface level, city ini bakal surprise lo dalam cara yang nggak expected.

Last advice: jangan treat Santiago as just a stopover to other South American destinations. Give it proper time – minimal 4-5 hari – buat really understand the rhythm of the city. Trust me, it’s worth it.

Artikel ini ditulis berdasarkan pengalaman personal saya di Santiago pada Juli 2025. Informasi praktis seperti harga dan kondisi dapat berubah seiring waktu, jadi always double-check before your trip.

Tentang penulis: Budi Wijaya berdedikasi untuk berbagi pengalaman perjalanan nyata, tips praktis, dan perspektif unik, berharap membantu pembaca merencanakan perjalanan yang lebih santai dan menyenangkan. Konten asli, menulis tidak mudah, jika perlu mencetak ulang, harap catat sumbernya.

Tags : |

Tinggalkan Balasan