Ngider Nusantara

Lebih dari sekadar wisata – menyelami budaya, tradisi, dan kehangatan masyarakat Indonesia melalui mata seorang penjelajah.

Gua Marmer Patagonia: Karya Seni Alam yang Memesona

Gua Marmer Patagonia: Karya Seni Alam yang Memesona



Jujur aja, waktu pertama kali ngeliat foto Marble Caves di Instagram jam 2 pagi (ya, saya tipe orang yang scroll feed tengah malem), reaksi pertama saya malah skeptis. “Ini beneran asli atau hasil edit Photoshop?” pikir saya sambil zoom foto berkali-kali. Warna biru turquoise yang sempurna, formasi marmer yang kayak dipahat seniman profesional – rasanya terlalu indah untuk jadi kenyataan.

Baca Juga: Salinas de Surire: Tarian Flamingo di Danau Ajaib

Fast forward ke Februari 2024, saya berdiri di tepi General Carrera Lake dengan kayak di samping, deg-degan setengah mati. Perjalanan 18 jam dari Santiago ke Puerto Río Tranquilo bikin saya mikir berkali-kali: “Worth it gak sih ini semua effort?” Spoiler alert – saya salah total soal ekspektasi saya. Realitanya malah lebih spektakuler dari foto-foto viral itu.

Kenapa Gua Marmer Ini Bikin Saya Overthinking Semalaman

Sebelum berangkat, saya sempat research mendalam tentang formasi geologis ini. Marble Caves atau Capillas de Mármol terbentuk selama lebih dari 6000 tahun melalui proses erosi air danau yang terus-menerus mengikis batuan marmer solid. Bayangin aja, alam butuh ribuan tahun untuk “memahat” karya seni ini tanpa alat apapun, cuma mengandalkan gerakan air yang konsisten.

Tunggu, saya salah hitung – ternyata prosesnya lebih kompleks dari itu. Menurut guide lokal yang saya temui nanti, pembentukan marmer itu sendiri sudah berlangsung jutaan tahun sebelum proses pengikisan dimulai. Jadi technically, kita lagi ngeliat hasil karya alam yang udah ongoing selama geological timescale yang bikin kepala pusing.

Yang bikin unik, formasi marmer ini berbeda banget sama yang pernah saya lihat di Yunani atau Italia. Kalau marmer di Eropa kebanyakan putih dengan urat abu-abu, marmer di Patagonia ini punya karakter sendiri – warnanya lebih cream dengan pola yang lebih organic. Plus, karena lokasinya di tengah danau glacial, refleksi cahaya dan warna air menciptakan efek visual yang constantly berubah sepanjang hari.

Lokasi Marble Caves ini emang agak tricky untuk dijangkau. Terletak di General Carrera Lake, sekitar 5 km dari Puerto Río Tranquilo, Chile. Saat pertama kali nyoba navigate pakai GPS, saya sempat panik karena sinyal hilang total di area yang masih 20 menit dari kota. Untungnya udah download peta offline sebelumnya – lesson learned dari pengalaman buruk di Torres del Paine tahun lalu.

Perjalanan darat dari Puerto Río Tranquilo ke departure point kayak sekitar 15 menit naik mobil atau bisa jalan kaki sekitar 45 menit kalau mau sekalian sightseeing. Jalanannya mostly unpaved road, jadi siap-siap aja kena debu dan sedikit bumpy ride. Yang paling challenging sebenernya bukan jaraknya, tapi ketergantungan total pada cuaca. Danau ini notorious karena anginnya yang unpredictable, dan dalam hitungan menit bisa berubah dari calm lake jadi choppy waters yang berbahaya untuk kayaking.

Persiapan yang Ternyata Crucial (Belajar dari Kesalahan Saya)

Timing yang Sempurna – Atau Tidak?

Saya pilih Februari karena katanya peak summer di Patagonia, cuaca paling stabil, dan daylight paling panjang. Secara teori sih masuk akal, tapi realitanya? Well, it’s complicated. Februari memang summer, tapi anginnya masih kenceng banget, terutama sore hari. Hari pertama saya di sana, tour cancelled karena wind speed mencapai 40 km/jam – too dangerous untuk kayaking.

Berdasarkan pengalaman langsung dan ngobrol sama beberapa operator tour, timing terbaik sebenernya early morning (7-9 AM) atau late afternoon (5-7 PM) ketika angin relatif lebih tenang. Mid-day biasanya paling windy karena thermal effect dari temperature difference antara air danau yang dingin dan udara yang panas.

Satu tips yang gak ada di travel guide manapun: join WhatsApp grup “Marble Caves Weather Update” yang dikelola sama local operators. Mereka share real-time weather condition dan forecast yang lebih akurat dari aplikasi cuaca mainstream. Grup ini literally saved my trip karena saya bisa adjust schedule berdasarkan update hourly mereka.

Perlengkapan yang Wajib (dan yang Ternyata Gak Perlu)

Okay, let me be brutally honest tentang packing list. Saya overpacking banget untuk trip ini, tapi di sisi lain ada beberapa essential items yang hampir saya lupakan.

Yang benar-benar kepake: dry bag waterproof (invest in good quality, jangan yang murah), life jacket (wajib, gak nego), sunscreen SPF 50+ (refleksi sinar matahari dari air dan marmer brutal banget), topi dengan tali (angin kenceng bisa bikin topi terbang), dan power bank waterproof. Saya juga bawa wet suit tipis yang ternyata game changer karena air danau dingin banget, sekitar 8-12°C even di summer.

Yang ternyata gak perlu: tripod berat (susah banget dipake di kayak yang goyang), sepatu hiking boots (cukup water shoes aja), dan sleeping bag tebal (accommodation di Puerto Río Tranquilo udah provide blanket yang adequate).

Pelajaran paling mahal: saya bawa dry bag merek abal-abal yang ternyata bocor. Kamera mirrorless saya kena splash air danau dan sempet error selama 2 hari. Untungnya masih garansi, tapi lesson learned – invest in proper waterproof gear, especially untuk electronics. Sekarang saya selalu recommend Pelican cases atau minimal dry bag yang udah tested dan reviewed banyak orang.

Petualangan Menuju Gua: Antara Nervous dan Excited

Opsi Transportasi: Kayak vs Boat Tour

Setelah research dan compare prices, ada dua opsi utama: kayak rental (45 USD per person) atau boat tour (85 USD per person). Saya pilih kayak karena lebih affordable dan katanya lebih “authentic experience.” Well, authentic sih, tapi juga more challenging dari yang saya kira.

Kayak rental include basic safety briefing, life jacket, paddle, dan dry bag kecil. Guide-nya cuma escort sampe entrance area terus tinggal kita sendiri explore. Boat tour lebih mahal tapi include professional guide, snacks, dan mereka handle semua navigation. Plus, boat tour bisa masuk ke chamber yang lebih dalam karena boat-nya smaller dan more maneuverable dibanding kayak.

Pengalaman kayaking untuk pemula kayak saya? Challenging banget, especially karena saya underestimate seberapa strong arm muscles yang dibutuhkan. Jarak dari departure point ke entrance Marble Caves sekitar 1.5 km, tapi dengan current dan occasional wind, butuh effort yang lumayan. Hari pertama, lengan saya cramp setelah 30 menit paddling – clearly I need more gym time.

Yang bikin deg-degan, di tengah perjalanan ada speedboat lewat yang bikin gelombang lumayan besar. Kayak saya sempet goyah dan hampir kebalik. Eh wait, itu bukan angin kencang yang saya bilang tadi, tapi memang gelombang dari speedboat yang lewat too close. Moment itu bikin saya realize betapa vulnerable-nya position kita di kayak di tengah danau yang segede ini.

Saat nulis artikel ini, temen saya baru aja share pengalaman boat tour-nya via video call. Dia bilang boat tour lebih comfortable dan guide-nya ngasih banyak insight tentang geology dan history yang gak bakal kita dapet kalau solo kayaking. Tapi dia juga ngaku miss the sense of adventure dan personal achievement yang didapet dari kayaking sendiri.

Gua Marmer Patagonia: Karya Seni Alam yang Memesona
Gambar terkait dengan Gua Marmer Patagonia: Karya Seni Alam yang Memesona

Momen-momen Deg-degan di Perjalanan

Momen paling panic-inducing: baterai HP tinggal 15% di tengah danau, padahal saya andalin GPS dan camera HP untuk dokumentasi. Power bank ada di dry bag yang sealed rapat, dan saya gak berani buka di tengah danau karena takut kena splash. Akhirnya saya navigasi based on visual landmarks dan follow kayak lain yang kebetulan searah.

Baca Juga: Altos de Lircay: Trekking Melalui Hutan Endemik

Strategi navigasi tanpa GPS yang berfungsi ternyata lebih mengandalkan common sense dari yang saya kira. Marble Caves lokasinya di peninsula yang menonjol ke danau, jadi basically tinggal follow coastline sampai nemu formasi batu marmer yang prominent. Plus, biasanya ada cluster kayak dan boat di area entrance, jadi gampang spot dari jauh.

Yang bikin experience ini memorable, sepanjang perjalanan kayak saya constantly amazed sama landscape Patagonia yang epic. Snow-capped mountains di background, crystal clear water yang bisa liat dasar danau sampai kedalaman beberapa meter, dan silence yang cuma dipecah sama suara paddle hitting water. Moment-moment kayak gini yang bikin saya sadar kenapa orang rela travel jauh dan spend effort besar untuk experience alam yang pristine.

Inside the Marble Caves: Realitas vs Ekspektasi Instagram

First Impression yang Bikin Speechless

Gila, ini beneran nyata?

Itu literally first thought yang muncul pas kayak saya masuk ke entrance pertama. Warna biru turquoise yang saya liat di foto Instagram ternyata gak ada apa-apanya dibanding realitas. Kombinasi sunlight yang filter through opening di ceiling, refleksi dari air danau, dan texture marmer yang smooth menciptakan visual effect yang almost surreal.

Yang paling striking, setiap gerakan air bikin pattern cahaya di dinding marmer constantly berubah. Kayak nonton light show natural yang gak pernah repeat pattern yang sama. Saya sempet diam di kayak selama beberapa menit, cuma mesmerized sama beauty yang ada di depan mata.

Jujur aja, foto-foto yang viral di social media mostly capture moment tertentu dengan lighting condition yang perfect. Tapi experience real-time-nya much more dynamic dan immersive. Ada dimensi sound juga – echo dari suara paddle atau voice yang reverb di dalam chamber, plus gentle lapping sound dari air yang touch marmer walls.

Exploring Different Chambers

Marble Caves complex terdiri dari tiga main chambers: Cathedral (yang paling besar), Chapel (yang paling photogenic), dan Marble Cave (yang paling intimate). Masing-masing punya character dan lighting condition yang beda-beda.

Cathedral adalah chamber pertama yang biasanya dikunjungi, dan juga yang paling spacious. Ceiling-nya tinggi banget, probably 15-20 meter, dan ada natural skylight di beberapa titik yang bikin dramatic lighting effect. Suara di Cathedral punya echo yang panjang, makanya disebut Cathedral – literally feels like being inside natural church.

Chapel lebih compact tapi arguably paling stunning secara visual. Ini chamber yang paling sering muncul di foto-foto viral karena proportion-nya perfect untuk photography dan lighting-nya paling consistent. Walls-nya punya marble pattern yang paling intricate, dengan veining yang create natural art patterns.

Marble Cave yang paling kecil dan paling intimate, cuma bisa diakses pas air level rendah. Chamber ini paling challenging untuk photography karena space-nya terbatas, tapi experience-nya paling personal. Rasanya kayak being inside natural cocoon yang carved from solid marble.

Fenomena cahaya yang paling amazing terjadi setiap 30 menit sekitar mid-day ketika sun angle berubah. Warna air berubah dari deep turquoise ke electric blue, terus ke emerald green, depends on angle cahaya yang masuk dan depth perception dari position kita. Photographer yang serius biasanya spend berjam-jam di sini waiting for perfect lighting moment.

Observasi pribadi yang menarik: foto-foto viral mostly from Cathedral karena space-nya yang allow untuk wide-angle shots dan lighting-nya yang paling dramatic. Tapi personally, saya paling suka Chapel karena intimacy dan detail pattern marmer-nya yang incredible.

Photography Challenges (dan Solusinya)

Okay, real talk about photography di Marble Caves. Dari 50 foto yang saya ambil, probably cuma 10 yang decent dan 3 yang actually good. Lighting condition di dalam gua extremely challenging karena high contrast antara bright opening dan darker interior, plus constant movement dari kayak yang bikin camera shake.

Setting kamera yang work best based on trial and error: ISO 400-800 (higher ISO bikin noise, lower ISO bikin underexpose), aperture f/8-f/11 untuk adequate depth of field, dan shutter speed minimum 1/125 untuk handheld shots. Kalau punya image stabilization, definitely turn it on. Manual focus lebih reliable daripada autofocus karena low light condition sering bikin autofocus hunting.

Untuk smartphone photography, HDR mode adalah game changer. Most modern phones punya computational photography yang bisa handle high contrast situation better than our eyes. Night mode juga surprisingly effective di interior chamber yang gelap.

Pengalaman edit foto dengan apps HP ternyata cukup satisfying. Apps kayak Lightroom Mobile atau VSCO punya preset yang specifically designed untuk travel photography. Tapi jangan over-edit – natural beauty dari Marble Caves udah stunning tanpa heavy processing.

Etika photography di dalam gua yang penting: respect other visitors, jangan block passage untuk photo session, dan absolutely no flash photography karena bisa disturb wildlife dan other visitors. Plus, flash photography di marmer surface bikin harsh reflection yang ruin natural lighting.

Hal-hal yang Gak Ada di Travel Guide (Tapi Penting Banget)

Weather Dependency yang Bikin Deg-degan

Hari pertama saya di Puerto Río Tranquilo, tour cancelled karena angin kencang. Frustrating banget karena saya cuma allocate 2 hari untuk Marble Caves, dan hari kedua weather forecast juga questionable. Inilah kenapa flexibility jadwal absolutely crucial untuk trip ini.

Backup plan yang actually work: saya extend stay satu hari extra dan book accommodation yang allow last-minute extension. Cost-nya memang lebih mahal, tapi worth it dibanding pulang dengan regret. Plus, saya spend extra day exploring Puerto Río Tranquilo yang ternyata charming banget – small town dengan authentic Patagonian culture.

Baca Juga: Copiapó: Kota Emas di Gurun Atacama

Gua Marmer Patagonia: Karya Seni Alam yang Memesona
Gambar terkait dengan Gua Marmer Patagonia: Karya Seni Alam yang Memesona

Pentingnya fleksibilitas jadwal gak bisa di-underestimate untuk destination yang weather-dependent kayak ini. Build buffer time di itinerary, book refundable accommodation kalau possible, dan always have backup activities.

Tips monitoring cuaca yang reliable: download apps WeatherBug dan Windy yang punya detailed forecast untuk specific location. Local WhatsApp grup yang saya mention sebelumnya juga invaluable untuk real-time update. Plus, hotel atau hostel staff biasanya punya insight tentang weather pattern yang gak available di mainstream weather apps.

Interaksi dengan Local Guides

Belajar basic Spanish sebelum trip ini ternyata investment yang worth it banget. Even cuma “Hola,” “Gracias,” dan “¿Cuánto cuesta?” udah bikin interaction dengan local guides much more meaningful dan friendly.

Guide lokal saya namanya Juan (sebenernya nama guide saya Juan, bukan Jose kayak yang saya tulis di notes awal – sering ketuker nama pas travel), dan dia udah jadi kayak guide di area ini selama 15 tahun. Story-story yang dia share tentang geological history, local wildlife, dan changes yang dia witness selama bertahun-tahun bikin trip ini much more enriching dari sekedar sightseeing.

Juan cerita kalau dulu, sebelum Marble Caves jadi viral di social media, dia cuma guide beberapa turis per minggu. Sekarang, especially during peak season, dia bisa guide 20-30 people per day. Dia mixed feelings tentang popularity boom – happy karena income meningkat, tapi concerned tentang environmental impact dan sustainability.

Tips tipping yang appropriate berdasarkan local standard: 10-15% dari tour cost adalah reasonable, atau sekitar 5-10 USD untuk half-day tour. Tapi lebih dari nominal, appreciation dan respect untuk knowledge dan service mereka jauh lebih valuable.

Sustainable Tourism Awareness

Dampak overtourism di Marble Caves mulai keliatan, especially during peak season (December-February). Increased boat traffic bikin water pollution, noise pollution yang disturb local wildlife, dan physical impact dari too many people touching marmer walls.

Pengalaman ikut program cleanup volunteer yang diorganize sama local environmental group eye-opening banget. Dalam 2 jam cleanup session, kami collect hampir 50 kg sampah, mostly plastic bottles, food packaging, dan cigarette butts. Sad reality dari increased tourism tanpa proper waste management education.

Pentingnya responsible travel practices yang bisa kita implement: bring reusable water bottle, pack out all trash, respect wildlife dan natural formations, choose tour operators yang committed to sustainability, dan educate ourselves tentang local environmental challenges.

Update regulasi terbaru per 2024: Chilean government implement daily visitor limit untuk Marble Caves area dan mandatory environmental briefing untuk all tour participants. Ini positive step untuk long-term conservation, meskipun bikin booking process slightly more complicated.

Practical Tips yang Bakal Save Your Trip (dan Dompet)

Budget Breakdown yang Realistic

Okay, let’s talk money. Total cost untuk 3-day Marble Caves trip dari Santiago:

Transport Santiago-Puerto Río Tranquilo: 45 USD (bus), 120 USD (flight to Balmaceda + bus)
Accommodation: 25-35 USD/night (hostel), 60-80 USD/night (hotel)
Marble Caves tour: 45 USD (kayak), 85 USD (boat tour)
Meals: 15-25 USD/day (self-catering), 35-45 USD/day (restaurants)
Miscellaneous: 20-30 USD (souvenirs, tips, etc.)

Dimana saya overspend: accommodation (saya book hotel last-minute yang mahal) dan meals (makan di restaurant terus karena males masak). Dimana bisa hemat: transport (kalau book bus jauh-jauh hari bisa dapet discount), meals (grocery shopping dan self-catering), dan tour (group booking sometimes dapet discount).

Perbandingan budget solo vs group travel: solo travel definitely more expensive per person karena gak bisa split accommodation dan transport cost. Tapi flexibility-nya worth the extra cost, especially untuk destination yang weather-dependent kayak ini.

Tips booking yang bisa save 30% biaya: book accommodation dan tour package together, travel during shoulder season (March-April atau October-November), dan use local booking platforms yang sometimes offer better rate than international sites.

Accommodation Recommendations

Saya coba tiga tipe accommodation selama stay di Puerto Río Tranquilo: hostel, hotel, dan homestay. Each punya pros dan cons yang significant.

Hostel experience: affordable (25 USD/night), good for meeting other travelers, shared kitchen untuk self-catering. Cons: limited privacy, shared bathroom, dan noise level yang sometimes disturbing. Recommend untuk budget travelers dan solo travelers yang suka social interaction.

Hotel experience: comfortable (70 USD/night), private bathroom, breakfast included. Cons: expensive, less authentic local experience, dan limited interaction dengan locals. Good untuk travelers yang prioritize comfort dan convenience.

Kenapa saya pilih homestay untuk last night dan worth it gak? Homestay (40 USD/night) offer perfect balance antara comfort dan authentic experience. Host family ngasih insight tentang local culture, recommend hidden gems di area, dan home-cooked meals yang delicious. Definitely worth it untuk travelers yang appreciate cultural immersion.

Baca Juga: Cajón del Maipo: Adrenalin di Sungai Pegunungan

Gua Marmer Patagonia: Karya Seni Alam yang Memesona
Gambar terkait dengan Gua Marmer Patagonia: Karya Seni Alam yang Memesona

Pengalaman booking via apps lokal (Booking.com vs local platforms): local platforms sometimes offer better rate dan more flexible cancellation policy, tapi customer service dan review system gak secomprehensive international platforms. Recommendation: compare prices di both platforms sebelum booking.

Food & Dining Experience

Local dishes yang wajib dicoba di Patagonia: asado (BBQ lamb), empanadas, dan fresh salmon. Asado di Patagonia different from asado di Argentina – mereka pake local herbs dan cooking technique yang unique. Empanadas di sini bigger dan more filling compared to other regions di Chile.

Pengalaman masak sendiri vs makan di resto: self-catering definitely more economical, especially kalau stay beberapa hari. Local supermarket punya good selection of fresh produce dan local specialties. Tapi makan di local restaurant adalah part of cultural experience yang shouldn’t be missed entirely.

Kenapa makanan di Patagonia mahal banget? Mostly karena remote location dan transportation cost untuk bring supplies from major cities. Plus, tourism boom increase demand yang drive up prices. Expect to pay 30-50% more compared to Santiago atau other major Chilean cities.

Tips grocery shopping untuk budget travelers: shop di local market instead of tourist-oriented stores, buy local produce yang in season, dan cook simple meals yang gak require banyak ingredients. Local bread, cheese, dan cured meat bisa jadi satisfying meal dengan fraction of restaurant cost.

Refleksi: Kenapa Gua Marmer Ini Worth Every Penny

Momen-momen yang Gak Akan Terlupakan

Ada momen hening di dalam Cathedral chamber ketika saya stop paddling dan just floating di tengah-tengah space yang magnificent itu. Complete silence except untuk gentle sound of water lapping against marmer walls. Dalam moment itu, saya realize betapa small-nya human existence compared to geological time scale yang create masterpiece ini.

Realisasi tentang scale alam vs manusia hitting different ketika you’re physically inside natural formation yang took thousands of years to create. Kita spend whole lifetime building things yang eventually decay, tapi alam create permanent beauty through processes yang beyond human comprehension.

Awalnya saya pikir Marble Caves cuma hype dari social media, ternyata experience real-nya far exceed any expectation yang bisa dibentuk dari foto atau video. Ada dimensi spiritual dan emotional yang gak bisa captured through any media – you have to be there to truly understand.

Perbandingan dengan wonder alam lain yang pernah saya kunjungi: Grand Canyon impressive karena scale-nya, Northern Lights magical karena rarity-nya, tapi Marble Caves unique karena intimacy dan accessibility-nya. You can literally touch the walls, hear your voice echo, dan feel connected dengan geological processes yang create this beauty.

Lessons Learned Beyond Photography

Personal growth yang saya dapet dari travel solo ke destination yang challenging kayak ini: confidence untuk handle unexpected situations, appreciation untuk natural beauty yang untouched, dan understanding tentang importance of sustainable tourism.

Stepping out of comfort zone dengan try kayaking (yang sebelumnya gak pernah saya lakuin) teach me tentang personal capability yang saya gak realize sebelumnya. Physical challenge dari paddling, mental challenge dari navigation, dan emotional reward dari achievement create memorable learning experience.

Sampai sekarang masih sering kepikiran tentang contrast antara fragility dan permanence dari natural formations kayak Marble Caves. Fragile karena vulnerable terhadap climate change dan human impact, tapi permanent dalam geological sense yang outlast human civilization.

Advice untuk first-time visitors: come with open mind, prepare for weather unpredictability, respect natural environment, dan allow enough time untuk truly appreciate the experience. Don’t rush through just untuk get photos – take time untuk absorb the beauty dan significance dari what you’re witnessing.

Final Thoughts dan Rekomendasi

Honest recommendation tentang untuk siapa trip ini cocok/tidak cocok: cocok untuk travelers yang appreciate natural beauty, comfortable dengan outdoor activities, flexible dengan schedule, dan willing to invest effort untuk reach remote destination. Tidak cocok untuk travelers yang expect luxury amenities, strict schedule adherence, atau limited physical capability.

Pertimbangan environmental impact vs personal experience adalah dilemma yang complex. Setiap visitor contribute ke environmental pressure, tapi awareness dan appreciation yang didapat dari experience ini juga bisa create environmental advocates. Key-nya adalah travel responsibly dan support conservation efforts.

Kenapa saya pasti balik lagi suatu saat? Karena Marble Caves adalah destination yang reveal different beauty di different seasons, lighting conditions, dan weather. Plus, ada nearby attractions kayak Glacier Exploradores dan Cerro Castillo yang worth exploring di future trips.

Travel responsibly ke Marble Caves means: choose sustainable tour operators, minimize waste, respect local culture dan environment, support local economy, dan share awareness tentang conservation importance. Beauty ini adalah shared heritage yang harus preserved untuk future generations.

Marble Caves bukan cuma destination untuk check off bucket list – it’s experience yang change perspective tentang natural beauty, geological time, dan our responsibility sebagai travelers untuk protect pristine environments. Worth every penny, every effort, dan every moment of uncertainty yang lead to this incredible discovery.

Tentang penulis: Budi Wijaya berdedikasi untuk berbagi pengalaman perjalanan nyata, tips praktis, dan perspektif unik, berharap membantu pembaca merencanakan perjalanan yang lebih santai dan menyenangkan. Konten asli, menulis tidak mudah, jika perlu mencetak ulang, harap catat sumbernya.

Tags : |

Tinggalkan Balasan