Maipo Valley: Perjalanan Mencicipi Wine Terbaik Dunia
- Juli 25, 2025
- Destinasi Terbaik | Indonesia | Tips dan Panduan | Wisata
- No Comments

Maipo Valley: Perjalanan Mencicipi Wine Terbaik Dunia
Baca Juga: Viña del Mar: Monaco-nya Amerika Selatan
Ketika Saya Hampir Membatalkan Trip Wine Tour Ini
Jujur, saya hampir batal ke Maipo Valley. Bukan karena budget atau jadwal, tapi karena sindrom imposter yang akut. “Saya kan bukan wine expert,” pikir saya sambil scroll-scroll review di Google. “Nanti gimana kalau ditanya soal tannin, sulfite, atau istilah-istilah aneh lainnya?”
Saat itu jam 7 pagi, saya duduk di kafe langganan sambil googling “wine tour for beginners” dengan baterai HP yang tersisa 15%. Makin banyak artikel yang saya baca, makin gugup rasanya. Ada yang bilang harus paham soal vintage, ada yang nyaranin belajar teknik swirling dulu, ada juga yang bilang jangan pakai parfum karena bisa ganggu aroma wine.
“Tunggu deh,” pikir saya sambil minum kopi yang ke-tiga, “kenapa sih saya takut mencoba hal baru? Emang harus jadi sommelier dulu baru boleh wine tasting?”
Yang bikin tambah ragu, budget. Wine tour di Chile kan kedengarannya mahal banget. Transport ke sana, entrance fee, makan siang, belum lagi kalau beli wine untuk oleh-oleh. Saya sampai bikin spreadsheet kecil-kecilan di HP, ngitung-ngitung pengeluaran sambil deg-degan.
Terus ada masalah bahasa juga. Bahasa Spanyol saya cuma sebatas “hola” dan “gracias”. Gimana nanti kalau guide-nya jelasin detail tentang proses fermentasi dalam bahasa Spanyol? Atau kalau saya salah pronunciasi nama-nama winery?
Untungnya, teman WhatsApp grup langsung nyemangatin begitu saya cerita kekhawatiran ini. “Bud, lu overthinking banget deh. Wine tour itu buat enjoy, bukan ujian!” kata Rina. “Lagian, guide-nya pasti bisa bahasa Inggris. Santai aja!”
Dan betul juga sih. Kenapa saya harus bikin ribet sesuatu yang harusnya fun? Akhirnya saya putuskan, ya udah, gas aja. Yang penting niat belajar dan open mind. Kalau nggak ngerti, ya tanya. Kalau salah, ya belajar. Simple kan?
Saat saya menulis ini, masih ada yang DM tanya soal pengalaman wine tour saya. Dan jawaban saya selalu sama: “Jangan overthink. Trust me, it’s worth every peso!”
Persiapan yang Ternyata Lebih Simple dari Perkiraan
Ternyata, persiapan wine tour ke Maipo Valley nggak serumit yang saya bayangin. Cuma butuh 15 menit buat checklist basic, dan boom, ready to go!
Booking dan Budget Breakdown
Tip pertama yang langsung menghemat kantong: booking online jauh lebih murah daripada on-site. Saya sempat bandingkan harga, dan selisihnya lumayan banget – sekitar 25-30% lebih murah kalau book dari jauh-jauh hari. Santa Rita misalnya, kalau book online cuma 15,000 peso Chilean, tapi kalau dateng langsung bisa 20,000 peso.

Untuk transport, saya sempat galau antara rental car atau ikut tour group. Akhirnya pilih rental car karena lebih fleksibel, meski harus extra hati-hati soal designated driver. Hampir aja saya lupa planning ini – untung inget pas lagi isi bensin!
Yang bikin malu, saya salah kostum di hari pertama. Dateng pakai kaos oblong dan sendal jepit, eh ternyata beberapa winery ada dress code casual smart. Untung guide-nya baik, cuma senyum-senyum aja liat penampilan saya yang kayak mau ke warung tetangga.
Budget Breakdown yang Realistis (Update 2025/7)
- Entrance fee per winery: 12,000-25,000 peso Chilean
- Transport (rental car per hari): 35,000-50,000 peso Chilean
- Lunch combo di vineyard: 18,000-28,000 peso Chilean
Tip kedua untuk hemat: Ambil lunch combo deal. Beberapa winery nawarin paket wine tasting + lunch yang lebih murah 40% dibanding pesan terpisah. Santa Rita punya deal bagus, Concha y Toro juga.
Baca Juga: Salinas de Surire: Tarian Flamingo di Danau Ajaib
Jangan lupa download offline maps! Sinyal di valley kadang lemah, dan GPS suka ngadat. Saya pernah nyasar 30 menit gara-gara andalin Google Maps doang tanpa backup.
First Impression yang Bikin Jatuh Cinta Seketika
Momen “wow” pertama dateng pas saya belok dari jalan utama menuju area vineyard. Pemandangan deretan tanaman anggur yang teratur rapi, dengan latar belakang pegunungan Andes yang megah, langsung bikin saya ngerem mendadak di pinggir jalan.
“Kok saya baru tahu tempat secantik ini?” pikir saya sambil turun dari mobil, ngambil napas dalam-dalam. Aromanya beda banget dari Jakarta – campuran tanah basah, daun anggur, dan udara gunung yang segar. Angin bertiup pelan di antara tanaman, bikin suara gemerisik yang menenangkan.
Pergulatan batin mulai: kenapa saya nggak ke sini dari dulu? Kenapa harus nunggu sampai umur segini baru berani wine tour? Tapi ya sudahlah, yang penting sekarang udah di sini.
Winery Pertama: Santa Rita
Guide saya, Carlos, orangnya ramah banget meski bahasa Spanyol saya yang broken bikin dia ketawa. “No problema, amigo!” katanya sambil ngasih thumbs up pas saya bilang “Yo no hablo español muy bien.”
First tasting experience bikin nervous excitement yang aneh. Dikasih gelas wine merah, saya langsung mau minum, eh Carlos langsung stop. “No, no, no! First, you observe. Then smell. Then taste slowly.”
Ternyata swirl itu ada tekniknya! Saya sempat ngocok gelas kayak lagi bikin susu coklat, untung Carlos sabar banget ngajarin. “Like this, gentle rotation,” katanya sambil demonstrasi gerakan yang elegant banget.
Kesalahan umum pertama yang saya lakukan: Langsung minum tanpa observe dulu. Padahal, wine appreciation itu dimulai dari mata, baru hidung, baru mulut.

Concha y Toro – The Tourist Favorite
Kontras banget sama Santa Rita yang intimate, Concha y Toro rame banget. Tour bus dateng silih berganti, jadi harus antri lumayan lama. Tapi worth it sih, karena fasilitasnya memang lebih complete.
Don Melchor legend tour yang famous itu ternyata agak overhyped menurut saya. Ceritanya sih menarik, tapi terlalu theatrical. Kayak nonton pertunjukan teater daripada wine education. Tapi kalau suka yang dramatic, pasti suka.
Tip untuk crowd management: Dateng pagi-pagi, sekitar jam 10-11. Sore hari biasanya lebih rame karena banyak yang jadiin last stop.
Plot Twist: Winery Kecil yang Mencuri Hati
Nah, ini dia yang nggak saya expect sama sekali. Pas lagi nyari tempat makan siang, saya nemu small family winery yang nggak ada di itinerary. Namanya Viña El Principal, tempatnya kecil banget, cuma ada beberapa meja di teras yang menghadap vineyard.
Yang bikin special, ownernya langsung yang ngelayanin. Don Miguel, bapak-bapak umur 60-an yang udah 30 tahun berkecimpung di dunia wine. Dia cerita tentang keluarganya yang mulai tanam anggur dari generasi kakeknya, sambil nyiapin tasting yang super personal.
“Awalnya saya pikir yang besar pasti lebih bagus,” koreksi saya dalam hati sambil dengerin cerita Don Miguel. “Ternyata yang kecil malah punya soul yang lebih dalam.”
Baca Juga: Rapa Nui: Jejak Peradaban Polinesia di Samudra Pasifik
Momen paling touching pas Don Miguel cerita tentang wine yang dia dedikasiin untuk almarhum istrinya. Matanya berkaca-kaca, suaranya bergetar. Saya sampai ikutan terharu, padahal baru kenal 30 menit.
Yang lucu, mereka punya Instagram dengan followers cuma 200-an. Foto-fotonya juga amatiran banget, tapi genuine. Beda banget sama winery besar yang kontennya polished abis.
Teknik Degustasi yang Bener-Bener Belajar
Di sini saya belajar wine vocabulary yang beneran berguna, bukan yang pretentious. Don Miguel ngajarin istilah sederhana: “fruity, earthy, smooth, bold.” Nggak pakai embel-embel “notes of blackcurrant with hints of oak and tobacco” yang bikin pusing.
Yang penting, dia ngajarin pacing. “Wine is not beer, my friend. You sip, you savor, you enjoy slowly.” Lesson learned the hard way – di winery sebelumnya saya keburu mabuk ringan karena nggak ngatur tempo.
Realitas di Balik Glamour Wine Tour
Okay, sekarang saya mau honest review. Wine tour itu memang indah dan romantic, tapi ada beberapa hal yang Instagram nggak ceritakan.
Pertama, toilet situation. Beberapa winery kecil toiletnya… ya gitu deh. Jangan expect hotel berbintang. Dan walking distance antar spot kadang lumayan jauh, apalagi kalau pakai heels (yang untungnya nggak saya lakukan).

Cuaca juga faktor penting. Saya sempat kena mendung pas di Concha y Toro, jadi foto-foto nggak secantik yang diharapkan. Tapi justru di saat mendung itulah saya dapet view yang berbeda – vineyard dengan dramatic sky yang moody banget.
Yang bikin appreciate adalah sustainable tourism practices di beberapa winery. Santa Rita punya program organic farming, Concha y Toro juga mulai reduce plastic usage. Sebagai turis, saya jadi lebih aware soal environmental impact dari aktivitas saya.
Fellow tourists yang saya temuin juga beragam. Ada couple honeymoon dari Brasil yang sweet banget, ada juga grup bachelor party dari Australia yang agak noisy. Yang paling memorable, ada nenek-nenek dari Jerman yang wine knowledge-nya luar biasa. Saya sampai minder dengerin dia diskusi sama sommelier.
Kemarin ada yang DM tanya soal dress code. Saran saya: casual smart, sepatu yang nyaman buat jalan, dan bawa jaket tipis karena angin valley kadang dingin.
Food Pairing Experience
Lunch di vineyard hit or miss tergantung tempat. Santa Rita punya restaurant yang decent, menu-nya fusion Chilean-international. Concha y Toro lebih ke arah traditional Chilean, yang honestly agak plain buat lidah Indonesia.
Yang surprisingly addictive: local cheese! Queso de cabra (goat cheese) yang dipair sama Carmenère, combination-nya perfect banget. Saya sampai beli beberapa blok buat dibawa pulang.
Meal planning strategy untuk wine tour day: Sarapan yang substantial, lunch ringan aja di vineyard, dinner baru yang proper. Soalnya wine tasting bikin kenyang juga, apalagi kalau banyak cheese pairing.
Practical Tips yang Wish I Knew Earlier
Timing is everything. Best months untuk wine tour adalah Maret-Mei (harvest season) atau September-November (spring). Saya dateng bulan Juli (winter), jadi nggak bisa liat proses harvest yang katanya spectacular.
Baca Juga: Temuco: Melestarikan Warisan Suku Mapuche
Best time of day: Start pagi jam 10, finish sore jam 4. Lebih dari itu, palate udah tired dan wine appreciation jadi berkurang.
Transportation logistics: Uber availability di area Maipo Valley limited banget. Kalau nggak rental car, better book tour package atau taxi dari Santiago. Parking di most wineries free, tapi beberapa yang famous kadang full pas weekend.
How many wineries per day? Learned from mistakes: maksimal 3 winery per hari. Lebih dari itu, palate overload dan nggak bisa appreciate dengan baik. Quality over quantity!

Shopping strategy: Kalau mau beli wine, tanya dulu soal shipping options. Beberapa winery bisa ship ke Indonesia, tapi cost-nya lumayan. Alternatifnya, beli yang limited edition atau signature blend yang nggak ada di Indonesia.
Responsible tourism: Respect the local culture, don’t be too loud di vineyard, dan always tip your guide. They’re passionate about their work dan deserve appreciation.
Digital tips: Download wine apps kayak Vivino buat track wine yang udah dicoba. Instagram-worthy spots biasanya di terrace area atau barrel room, tapi ask permission dulu sebelum foto.
Mengapa Saya Sudah Planning Return Trip
Refleksi perjalanan: wine tour ini beneran mengubah perspektif saya tentang appreciation. Sebelumnya, saya tipe orang yang minum ya minum aja, nggak mikir soal complexity atau craftsmanship di baliknya. Sekarang, setiap kali minum wine, saya ingat cerita Don Miguel, ingat aroma vineyard, ingat proses panjang dari grape sampai jadi wine.
Unfinished business masih banyak. Ada beberapa winery yang belum dikunjungi, terutama yang di area Alto Maipo yang katanya view-nya lebih spectacular. Plus, saya pengen balik pas harvest season, experience yang totally different dari sekarang.
Planning untuk Maret 2026, ajak teman-teman yang udah tertular enthusiasm saya. Rina udah bilang mau ikut, Doni juga interested. Bayangin wine tour bareng teman-teman, pasti seru banget!
Personal growth moment: “Ternyata saya bisa appreciate wine.” Dulu mikir wine itu pretentious, sekarang ngerti bahwa wine appreciation itu art form yang accessible untuk siapa saja. Nggak perlu jadi expert, cukup open mind dan willingness to learn.
Why this beats other wine regions menurut pengalaman pribadi: Maipo Valley punya combination perfect antara quality wine, stunning scenery, dan warm hospitality. Dibanding Napa Valley yang terlalu commercial atau Bordeaux yang terlalu formal, Maipo Valley feels more authentic dan approachable.
Sejujurnya, saya masih mikir tentang wine itu sampai sekarang. Kadang pas lagi minum wine di Jakarta, tiba-tiba ingat pemandangan vineyard, ingat angin sepoi-sepoi, ingat cerita-cerita yang dibagikan guide. It’s more than just alcohol – it’s memory, it’s culture, it’s art.
Dan yang paling penting: jangan overthink kayak saya dulu. Wine tour itu buat enjoyed, bukan buat dianalisis sampai pusing. Come with open heart, open mind, dan ready to be surprised. Trust me, Maipo Valley will not disappoint!
Tentang penulis: Budi Wijaya berdedikasi untuk berbagi pengalaman perjalanan nyata, tips praktis, dan perspektif unik, berharap membantu pembaca merencanakan perjalanan yang lebih santai dan menyenangkan. Konten asli, menulis tidak mudah, jika perlu mencetak ulang, harap catat sumbernya.