Salinas de Surire: Tarian Flamingo di Danau Ajaib
- Juli 10, 2025
- Destinasi Terbaik | Indonesia | Tips dan Panduan | Wisata
- No Comments

Salinas de Surire: Tarian Flamingo di Danau Ajaib
Baca Juga: Cochamo Valley: Yosemite-nya Chile
Ketika GPS Mengatakan “Tidak Ada Jalan”
Pagi itu, tepat jam 5:30, saya sudah duduk di dalam mobil sambil menatap layar HP yang menunjukkan baterai 15%. “Serius nih mau ke Salinas?” tanya Pak Anto, driver yang sudah saya sewa dari kemarin. Jujur, saat itu saya juga mulai ragu. GPS menunjukkan lokasi yang aneh – seperti titik kosong di tengah entah berantah.
Salinas de Surire memang bukan destinasi yang mudah dicari di Google. Terletak di ketinggian 4.245 mdpl (eh, atau 4.200an ya? Saya sempat lupa tepatnya), danau garam ini berada di perbatasan Chile-Bolivia yang aksesnya… well, mari kita bilang “menantang”. Bayangan saya sebelumnya simpel: danau biru cantik dengan flamingo pink berkeliaran. Klise banget, ya?
“Kok rasanya salah jalan ya?” pikir saya dalam hati ketika mobil mulai memasuki jalan tanah berbatu yang sepertinya lebih cocok untuk off-road extreme daripada wisata santai. Tadi pagi sebelum berangkat, saya sempat baca review di TripAdvisor yang bilang perjalanannya “challenging but worth it”. Ternyata challenging-nya lebih dari yang saya bayangkan.
Yang bikin deg-degan, sinyal HP mulai hilang-timbul sejak keluar dari Putre. Pak Anto cuma nyengir sambil bilang, “Sudah biasa, Mas. Nanti juga ketemu jalannya.” Mudah baginya untuk bilang begitu – dia kan sudah puluhan kali ke sana. Sementara saya? Ini pertama kalinya ke Altiplano, dan ekspektasi bertemu hamparan danau biru malah disambut pemandangan tanah gersang yang seperti permukaan Mars.
Tapi ya sudah terlanjur bayar sewa mobil Rp 1.200.000 untuk dua hari. Mundur bukan pilihan.
Perjalanan Menuju Surga Tersembunyi
Dari Putre, perjalanan yang katanya 3,5 jam terasa seperti 5 jam. Bukan karena macet atau apa – justru sebaliknya, kami seperti satu-satunya kendaraan di jalan itu. Masalahnya di kondisi jalan yang bikin mobil oleng berkali-kali. Saya ingat betul, ada dua tikungan tajam yang bikin jantung copot. Pak Anto sampai bilang, “Pegang yang kuat, Mas!”
Kesalahan pertama saya: terlalu percaya estimasi Google Maps. Harusnya saya tambah 1,5 jam dari perkiraan awal. Kesalahan kedua: tidak isi bensin penuh di Putre. Untung Pak Anto yang ngingetin – harga bensin di tengah jalan bisa 40% lebih mahal, kalau memang ada pom bensinnya.

Sekitar jam 10 pagi, HP saya officially no service. Total. Awalnya panik, tapi kemudian malah jadi berkah. Tanpa distraksi notifikasi WhatsApp atau Instagram, saya mulai benar-benar memperhatikan pemandangan di sekitar. Dan… wow.
Altiplano itu seperti planet lain. Hamparan tanah coklat kekuningan yang luas, diselingi gunung-gunung dengan puncak bersalju di kejauhan. Angin kencang bikin telinga sakit, tapi ada sesuatu yang hipnotis dari kesunyian tempat ini. Pak Anto, yang ternyata asli daerah sini, mulai cerita sambil sesekali berhenti untuk ngopi dari termos.
“Dulu saya kecil, sering ikut bapak gembala llama sampai sini,” katanya sambil menunjuk ke arah yang sepertinya cuma hamparan kosong buat saya. “Sekarang sudah jarang ada yang mau hidup nomaden.”
Momen “aha!” pertama saya datang sekitar jam 11. Di kejauhan, saya melihat sesuatu yang bergerak. “Tunggu, itu burung atau batu ya?” tanya saya pada Pak Anto. Dia cuma nyengir, “Sebentar lagi ketemu, Mas.”
Baca Juga: Copiapó: Kota Emas di Gurun Atacama
Dan benar saja. Lima menit kemudian, kami sampai di tepi sesuatu yang… sulit dijelaskan. Bukan danau biru seperti bayangan saya. Tapi hamparan putih berkilau dengan bercak-bercak pink dan hijau, dan di tengahnya… flamingo. Ratusan flamingo.
Flamingo: Bintang Utama yang Temperamental
Saya kira flamingo itu cuma satu jenis – yang pink biasa kita lihat di kebun binatang. Ternyata salah besar. Di Salinas de Surire, ada tiga spesies berbeda: Chilean flamingo (yang paling besar), Andean flamingo (yang paling langka), dan James’s flamingo (yang paling kecil). Pak Manuel, guide lokal yang kami temui di sana, jelasin sambil nunjuk-nunjuk dengan binokular.
“Yang itu Chilean, lihat paruhnya lebih tebal. Yang di sana Andean, warnanya lebih pucat. Yang kecil-kecil itu James’s,” jelasnya dengan sabar. Saya sempat bingung membedakannya, tapi lama-lama mata mulai terbiasa.
Yang paling bikin terpesona adalah cara mereka makan. Bukan kayak burung biasa yang patuk-patuk. Flamingo ini filter-feeding – mereka celupkan kepala ke air, terus paruhnya kayak penyedot debu biologis, nyaring makanan dari lumpur. Gerakan mereka synchronized, kayak flash mob alam.

Tapi yang paling memukau adalah “tarian” mereka. Awalnya saya kira romantis-romantisan kayak di film Disney. Ternyata itu cara mereka komunikasi. Gerakan leher yang anggun, kepakan sayap yang terkoordinasi – itu bahasa mereka. Dan saya bisa nonton ini gratis, live, tanpa tiket masuk!
Golden hour di Salinas dimulai jam 6 pagi. Flamingo paling aktif saat itu – mungkin karena suhu air lebih hangat, atau karena cahaya matahari bikin mikroorganisme di air lebih mudah dilihat. Entahlah, saya bukan ahli biologi. Yang jelas, pemandangan ratusan flamingo bergerak dalam cahaya keemasan itu… speechless.
Kesalahan fatal saya: pakai flash kamera. Begitu kilat menyala, semua flamingo langsung kabur. Dalam hitungan detik, danau yang tadi penuh burung pink jadi kosong. Pak Manuel cuma geleng-geleng kepala. “Flamingo sangat sensitif, Mas. Makanya turis harus jaga jarak minimal 50 meter.”
Untuk fotografi, lensa telephoto wajib hukumnya. Jangan paksa zoom HP – hasilnya pasti blur dan flamingo stress. Saya belajar ini dengan cara yang pahit.
Dari segi konservasi, situasinya agak mengkhawatirkan. Pak Manuel cerita kalau water level danau turun drastis dari 2019-2023 karena perubahan iklim. Belum lagi ancaman mining lithium di area sekitar yang bisa ganggu ekosistem. “Makanya sekarang populasi flamingo fluktuatif. Oktober-Maret masih yang terbaik, tapi tidak seperti dulu,” katanya dengan nada sedih.
Responsible tourism jadi kunci. Jaga jarak, jangan buang sampah, dan yang paling penting – jangan ganggu wildlife demi foto Instagram. Denda bisa sampai $500 USD kalau ketahuan authorities.
Danau Garam: Laboratorium Alam yang Ekstrem
Salinas de Surire bukan danau biasa. Ini hasil evaporasi jutaan tahun yang bikin konsentrasi garam mencapai 30% – lebih asin dari Laut Mati. Warna-warni yang saya lihat – pink, hijau, putih – itu semua mineral berbeda yang mengkristal dengan cara unik.
Baca Juga: Pucón: Destinasi Sempurna untuk Petualang Sejati
Yang pink itu dari mikroorganisme extremophile, bakteri yang justru hidup subur di lingkungan super asin. Yang hijau dari jenis alga tertentu. Yang putih, ya itu garam murni yang bisa dipanen – tapi jangan sembarangan ambil, ada aturannya.

Rantai makanan di sini sederhana tapi efektif: alga dimakan artemia (udang renik kecil), artemia dimakan flamingo. Sesimpel itu, tapi butuh keseimbangan yang presisi. Gangguan sedikit saja bisa bikin ekosistem collapse.
Pengalaman sensori di Salinas itu intense. Suara angin seperti siulan konstan di telinga – kombinasi ketinggian dan bentuk geografis yang bikin efek acoustic unik. Aroma campuran garam dan sulfur agak menyengat, especially kalau angin bertiup ke arah kita.
Tekstur garam di kaki juga unik. Kristal kasar yang bisa bikin licin kalau tidak hati-hati. Saya sempat slip sekali karena underestimate. Untung tidak jatuh ke dalam – air danau itu dingin banget dan super asin, pasti perih di mata.
Yang paling bikin kagum adalah adaptasi makhluk hidup di sini. Bagaimana bisa ada kehidupan di lingkungan yang seharusnya mematikan? Flamingo dengan ginjal khusus yang bisa filter garam, mikroorganisme yang justru butuh salinitas tinggi untuk hidup. Alam itu genius.
Tips Praktis: Survival Guide Altiplano
Altitude sickness itu real, guys. Saya muntah dua kali hari pertama – dan itu normal. Tubuh butuh waktu adaptasi dengan kadar oksigen yang cuma 60% dari permukaan laut. Hidrasi ekstrem wajib: 4-5 liter air per hari, plus oralit kalau perlu.
Sun protection di ketinggian ini brutal. SPF 50+ bukan pilihan, tapi keharusan. Sinar UV di 4.245 mdpl itu kayak pisau – bisa bikin kulit terbakar dalam hitungan menit. Saya pakai sunblock tiap 2 jam dan tetap agak gosong.
Cuaca di Altiplano unpredictable. Pagi bisa 5°C, siang 20°C, sore turun lagi ke -2°C. Pakaian berlapis adalah kunci. Thermal underwear, fleece, windbreaker, dan jaket tebal – semuanya bakal kepake.

Power bank wajib bawa minimal dua. Baterai HP boros banget di suhu dingin. Saya bawa tiga power bank dan semuanya habis dalam sehari. Lesson learned: simpan HP di jacket dalam biar tetap hangat.
Untuk snack, jangan andalkan warung. Bawa bekal cukup untuk dua hari – energy bar, kacang, coklat, atau apa pun yang calorie-dense. Metabolisme di ketinggian ini lebih cepat, jadi lapar datang lebih sering.
Budget breakdown per Juli 2024 (based on my experience):
– Transport (sewa mobil + driver): Rp 1.200.000 untuk 2 hari
– Entrance fee: Gratis (belum ada retribusi resmi)
– Accommodation di Putre: Rp 400.000/malam
– Makan dan minum: Rp 300.000
– Total estimate: Rp 1.900.000 untuk 2D1N
Baca Juga: Calama: Jantung Industri Tembaga Dunia
Kesalahan yang harus dihindari: jangan datang saat musim hujan (Januari-Februari). Jalan sering tertutup dan akses jadi impossible. Jangan underestimate cuaca – hypothermia risk tinggi kalau tidak prepare dengan baik.
Dan yang paling penting: respect the wildlife. Flamingo bukan props foto. Mereka makhluk hidup yang butuh space dan ketenangan.
Mengapa Salinas Mengubah Perspektif Saya
Pulang dari Salinas, saya jadi orang yang berbeda. Bukan karena altitude sickness yang bikin pusing tiga hari – tapi karena perspektif baru tentang travel dan kehidupan.
Flamingo mengajarkan saya tentang slow travel. Mereka tidak terburu-buru, tidak stress karena deadline. Mereka hidup sesuai ritme alam – makan saat waktunya, istirahat saat waktunya, bermigrasi saat waktunya. Sementara saya? Selalu kejar-kejaran dengan schedule, selalu merasa kurang waktu untuk menikmati momen.
Ekosistem ekstrem Salinas yang survive jutaan tahun juga bikin saya realize betapa kecilnya manusia di hadapan alam. Kita sering merasa bisa control segalanya, padahal alam punya caranya sendiri untuk bertahan dan beradaptasi.

Kesadaran lingkungan saya jadi lebih real setelah lihat langsung dampak climate change di sini. Water level yang turun, populasi flamingo yang fluktuatif – ini bukan cerita di berita, tapi kenyataan yang saya saksikan mata kepala sendiri.
Travel philosophy saya juga berubah. Dulu quantity over quality – sebanyak mungkin tempat dalam waktu sesingkat mungkin. Sekarang lebih pilih-pilih, lebih dalam, lebih meaningful. Salinas mengajarkan bahwa satu tempat yang benar-benar dihayati lebih berharga daripada sepuluh tempat yang cuma dilewati.
Untuk calon pengunjung: datang dengan hati terbuka dan ekspektasi realistis. Salinas bukan Bali atau Lombok yang Instagram-ready. Ini raw nature yang butuh effort dan mental preparation. Tapi kalau sudah sampai sana, dijamin tidak akan menyesal.
Untuk konservasi: Salinas butuh perlindungan serius. Tourism yang responsible, regulasi mining yang ketat, dan awareness global tentang pentingnya ekosistem unik ini.
Dan untuk diri sendiri: kadang tempat yang paling terpencil memberikan insight yang paling dalam. Salinas de Surire bukan cuma destinasi travel – tapi journey ke dalam diri yang mengubah cara pandang tentang hidup, alam, dan tempat kita di dunia ini.
Catatan: Informasi dalam artikel ini berdasarkan pengalaman pribadi pada Juli 2024. Kondisi dan situasi dapat berubah seiring waktu. Selalu check kondisi terkini sebelum berkunjung.
Tentang penulis: Budi Wijaya berdedikasi untuk berbagi pengalaman perjalanan nyata, tips praktis, dan perspektif unik, berharap membantu pembaca merencanakan perjalanan yang lebih santai dan menyenangkan. Konten asli, menulis tidak mudah, jika perlu mencetak ulang, harap catat sumbernya.