Punta Arenas: Kota Terakhir Sebelum Antartika
- Juli 10, 2025
- Destinasi Terbaik | Indonesia | Tips dan Panduan | Wisata
- No Comments

Punta Arenas: Kota Terakhir Sebelum Antartika
Angin Patagonia langsung menyambut dengan gigitan dingin begitu saya keluar dari pesawat di Punta Arenas. Jujur, momen pertama itu bikin saya bergidik – bukan cuma karena cuacanya, tapi karena pemandangan yang… well, sepi banget. Saya sampai ngecek Google Maps berkali-kali, “Ini beneran kota yang katanya gerbang Antartika?” Ekspektasi saya tentang kota pelabuhan yang ramai dan modern langsung hancur melihat bangunan-bangunan tua yang berjejer di sepanjang jalan.
Baca Juga: Cochamo Valley: Yosemite-nya Chile
Tapi you know what? Kadang ekspektasi yang salah justru jadi awal petualangan terbaik. Dari yang awalnya skeptis dan agak kecewa, saya malah jadi jatuh cinta sama kota ini. Sekarang, setelah hampir seminggu di sini, saya malah nggak mau pulang. Ada sesuatu yang beda dari Punta Arenas – mungkin karena dia benar-benar terasa seperti ujung dunia, atau mungkin karena orang-orangnya yang genuinely warm meski cuacanya dingin minta ampun.
Kenapa Punta Arenas Jadi “Pintu Gerbang” yang Bikin Penasaran?
Posisi Strategis yang Bikin Iri Kota Lain
Punta Arenas literally duduk di tepi Selat Magellan, dan posisinya itu yang bikin dia jadi special. Bayangin aja, ini adalah kota terakhir sebelum Antartika – dan maksud saya, beneran terakhir. Nggak ada lagi kota setelah ini kalau mau ke selatan. Fakta yang bikin saya takjub: sekitar 90% kapal riset dan ekspedisi ke Antartika berangkat dari sini. Jadi wajar aja kalau Punta Arenas dijuluki “Gateway to Antarctica.”
Pengalaman pertama saya ngobrol sama Carlos, guide lokal yang saya temui di hostel, dia bilang dengan bangga, “Antartika itu tetangga kami, mas. Cuma 1000 kilometer dari sini.” Saya sempat bengong – 1000 kilometer itu “cuma”? Tapi setelah dipikir-pikir, di Indonesia kan Jakarta-Surabaya aja udah 800 kilometer. Perspektif soal jarak di ujung dunia emang beda banget.
Yang bikin saya makin respect sama kota ini adalah sejarahnya sebagai hub logistik. Semua supplies untuk stasiun penelitian di Antartika, semua ilmuwan yang mau ke sana, semuanya transit di Punta Arenas dulu. Jadi meski kotanya kecil, perannya di dunia penelitian internasional itu huge banget.
Sejarah Singkat yang Nggak Membosankan
Awalnya saya pikir Punta Arenas cuma kota pelabuhan biasa yang kebetulan strategis. Ternyata sejarahnya jauh lebih menarik. Kota ini mulai berkembang pesat di awal 1900-an karena boom peternakan domba. Bayangkan, dulu di sini ada jutaan domba, dan para peternak jadi kaya raya karena ekspor wool ke Eropa.
Jejak kemakmuran era itu masih keliatan banget sampai sekarang. Rumah-rumah mewah bergaya Eropa di pusat kota, museum yang dulunya mansion keluarga kaya, semuanya cerita tentang masa kejayaan domba. Eh tunggu, ternyata bukan cuma soal domba… ada juga periode emas mining dan perdagangan maritim yang bikin Punta Arenas jadi salah satu kota terkaya di Chile.
Yang paling saya suka dari sejarah kota ini adalah koneksinya dengan pelaut-pelaut legendaris. Magellan, Drake, Shackleton – nama-nama besar eksplorasi dunia pernah singgah di sini. Jadi pas jalan-jalan di pelabuhan, rasanya kayak lagi berdiri di tempat yang sama dengan para penjelajah terkenal itu.
Hal-Hal yang Wajib Dilakukan (Tapi Jangan Expect yang Mainstream)
Cementerio Municipal – Kuburan Paling Instagramable?
Jujur, pas pertama kali temen hostel bilang “Lo harus ke kuburan,” saya langsung mikir, “Masa foto-foto di kuburan?” Tapi ternyata Cementerio Municipal Punta Arenas ini beda banget dari kuburan pada umumnya. Ini lebih kayak museum outdoor dengan makam-makam yang artistik banget.
Yang paling impressive adalah mausoleum keluarga-keluarga kaya era boom domba. Makam keluarga Braun-Menendez misalnya, kayak istana mini dengan ukiran marmer yang detail banget. Ada juga makam dengan patung-patung yang ceritanya kalau disentuh bisa bawa keberuntungan – makanya banyak yang antri buat foto di situ.
Tips praktis dari saya: datang pas golden hour, sekitar jam 4-5 sore. Pencahayaannya perfect buat foto, dan cuacanya juga nggak terlalu dingin. Kuburan ini buka dari jam 8 pagi sampai 6 sore, gratis, dan surprisingly well-maintained. Cuma jangan lupa bawa jaket, soalnya anginnya kenceng banget di area terbuka.
Yang bikin saya reflektif adalah melihat makam-makam imigran dari berbagai negara. Ada yang dari Kroasia, Jerman, Spanyol, bahkan ada beberapa dari Asia. Mereka semua datang ke ujung dunia ini cari kehidupan yang lebih baik, dan sekarang jadi bagian dari sejarah Punta Arenas.
Mirador Cerro de la Cruz – View yang Bikin Speechless
Naik ke Cerro de la Cruz itu… challenging. Jangan pakai sepatu yang licin kayak saya – hampir jatuh berkali-kali karena jalanannya terjal dan kadang basah. Tapi trust me, perjuangannya worth it banget. Pemandangan kota Punta Arenas dari atas, dengan Selat Magellan di background, itu breathtaking.
Yang bikin saya speechless adalah momen pertama sampai di puncak. Kota yang dari bawah keliatan kecil dan sepi, dari atas malah keliatan teratur dan indah. Warna-warni atap rumah, pelabuhan yang ramai, dan kalau cuaca cerah, bisa lihat sampai ke Tierra del Fuego di seberang selat.
Cuaca di sini itu unpredictable banget. Dalam 10 menit bisa berubah dari cerah ke mendung, dari angin sepoi-sepoi ke angin kenceng yang bikin susah berdiri. Saya sempat kena hujan ringan pas lagi di puncak, tapi malah jadi pengalaman yang memorable karena bisa lihat rainbow di atas kota.
Tips hemat: bawa bekal dan minuman sendiri. Ada warung kecil di atas, tapi harganya overpriced banget – sebotol air mineral bisa 3 kali lipat harga di kota. Dan bawa power bank, karena pasti bakal foto-foto banyak di sini.
Museo Regional de Magallanes – Surprise Hidden Gem
Awalnya saya skeptis banget sama museum ini. “Museum lagi, boring…” pikir saya. Tapi ternyata ini salah satu surprise terbaik di Punta Arenas. Museum ini housed di mansion bekas keluarga Braun-Menendez, jadi selain koleksinya, bangunannya sendiri udah kayak karya seni.
Yang bikin saya takjub adalah koleksi tentang kehidupan keluarga kaya di era boom domba. Furniture imported dari Eropa, perhiasan, bahkan piano yang masih bisa dimainkan. Ada juga koleksi tentang ekspedisi ke Antartika, termasuk peralatan yang dipake sama Shackleton. Plot twist banget kan, dari yang awalnya cuma mau lihat-lihat bentar, saya malah ngabisin 2 jam di sini.
Yang paling impressive adalah recreation room keluarga Braun-Menendez yang masih utuh. Wallpaper, chandelier, bahkan buku-buku di perpustakaan masih original. Rasanya kayak time travel ke masa kejayaan Punta Arenas di awal abad 20.

Hack murah yang saya discover: beli tiket kombinasi dengan Museo Naval dan Museo del Recuerdo. Totalnya cuma 5000 pesos (sekitar 70 ribu rupiah), jauh lebih hemat daripada beli terpisah. Dan kalau lo student, jangan lupa bawa kartu pelajar – bisa dapat diskon 50%.
Baca Juga: Pucón: Destinasi Sempurna untuk Petualang Sejati
Zona Franca – Shopping Experience yang Unik
Zona Franca Punta Arenas ini konsepnya unik banget – duty-free zone di ujung dunia. Bayangin mall biasa, tapi semua barangnya bebas pajak. Dari elektronik, pakaian, sampai makanan imported, semuanya ada dan harganya lebih murah dari kota-kota Chile lainnya.
Pengalaman belanja di sini beda dari mall biasa. Suasananya lebih kayak warehouse gede dengan berbagai toko kecil. Yang paling worth it dibeli menurut saya adalah outdoor gear – jaket, sepatu hiking, tas carrier. Harganya bisa 30-40% lebih murah dari Jakarta, dan kualitasnya international brand.
Yang bikin saya ngakak adalah hampir beli jaket winter padahal udah bawa dari Indonesia. Tapi untungnya sales assistantnya honest banget, dia bilang, “You already have good jacket, sir. Don’t need another one.” Jarang banget kan sales yang jujur kayak gitu?
Tips praktis: datang pas weekday kalau bisa, soalnya weekend rame banget sama locals yang belanja bulanan. Dan jangan lupa bawa passport, karena beberapa toko minta ID buat confirm status tourist (biar bisa belanja duty-free).
Kuliner Punta Arenas – Dari Skeptis Jadi Ketagihan
Centolla (King Crab) – Mahal Tapi Worth Every Peso
Pertama kali lihat harga centolla di menu, saya langsung shock. “Astaga, 25.000 pesos buat satu porsi crab?” Tapi setelah dipikir-pikir, ini kan king crab fresh dari Selat Magellan, bukan crab biasa. Akhirnya saya nekat order di La Tasca, restoran yang direkomendasikan sama receptionist hostel.
Dan… OMG. Ini crab terenak yang pernah saya makan. Dagingnya sweet, juicy, dan porsinya generous banget. Satu porsi bisa buat sharing bertiga kalau makan sama side dish. Rasanya beda banget sama crab yang pernah saya makan di Indonesia – lebih buttery dan nggak fishy sama sekali.
Yang bikin pengalaman makan centolla makin special adalah cara penyajiannya. Mereka serve whole crab dengan tools buat crack the shell, plus melted butter dan lemon. Prosesnya jadi kayak ritual makan yang fun, apalagi kalau makan bareng temen-temen.
Tips hemat: order centolla pas lunch time. Harganya bisa 20-30% lebih murah dari dinner, dan porsinya sama aja. Atau kalau mau lebih hemat lagi, sharing strategy works – order satu porsi buat 2-3 orang, terus tambah side dish kayak salad atau soup.
Cordero Patagónico – Domba yang Bikin Lupa Diet
Jujur, saya nggak biasa makan domba. Di Indonesia kan jarang banget, dan stereotype saya tentang mutton itu bau dan tough. Tapi cordero Patagónico ini totally different. Dagingnya tender, flavorful, dan surprisingly nggak ada bau prengus yang saya takutkan.
Pengalaman terbaik makan cordero adalah pas saya ikut BBQ ala Patagonia di Estancia San Gregorio, sekitar 45 menit dari Punta Arenas. Mereka masak whole lamb di atas api terbuka, slow-cooked sampai dagingnya fall-off-the-bone tender. Rasanya kayak beef tapi dengan flavor yang lebih rich dan complex.
Yang unik dari cordero Patagónico adalah cara peternakannya. Domba-domba ini free-range di padang rumput luas, jadi dagingnya nggak ada lemak berlebih dan rasanya lebih natural. Plus, mereka makan rumput Patagonia yang katanya punya mineral content tinggi – makanya dagingnya punya taste yang distinctive.
Rekomendasi tempat terbaik buat nyoba cordero: kalau budget unlimited, ke Damiana Elena. Kalau mau yang lebih affordable, Sotito’s Bar punya cordero asado yang enak dengan harga reasonable. Dan kalau mau experience yang authentic, ikut estancia tour – mahal sih, tapi worth it buat once-in-a-lifetime experience.
Kafe dan Bakery Local yang Underrated
Salah satu penemuan tak sengaja terbaik saya di Punta Arenas adalah Café Montt, kafe kecil di jalan Bories yang almost hidden. Saya nemuin ini pas lagi jalan-jalan aimlessly, dan tertarik sama aroma kopi yang wangi banget dari dalam.
Ternyata ini family-owned café yang udah berdiri sejak 1960-an. Mereka punya pastry homemade yang enak banget, terutama medialunas (croissant ala Argentina) dan kuchen (cake ala Jerman). Kopinya juga surprisingly good – mereka roast beans sendiri dan rasanya nggak kalah sama specialty coffee di Jakarta.
Yang bikin saya betah di sini adalah suasananya yang cozy dan owner-nya yang friendly banget. Doña Carmen, nenek yang jaga kafe ini, sering cerita tentang kehidupan di Punta Arenas dulu vs sekarang. Dari dia saya tau banyak insider info tentang kota ini yang nggak ada di guidebook.
Tips buat digital nomad: WiFi di sini reliable banget, dan mereka nggak masalah kalau lo duduk lama sambil kerja. Plus, harga kopi dan pastry-nya jauh lebih murah dari chain café internasional. Satu cup cappuccino cuma 2000 pesos, bandingkan sama Starbucks yang 4000 pesos.
Practical Stuff yang Nggak Ada di Guidebook Biasa
Transportasi – Lebih Tricky dari yang Dikira
Transportasi di Punta Arenas itu… challenging. Pertama kali saya nyari taksi dari airport, ternyata nggak ada yang ngetem di luar. Harus call atau pake app, tapi sinyal di airport lemah banget. Akhirnya saya nebeng sama backpacker lain yang udah book transfer.
Uber dan apps ride-hailing lainnya basically nggak exist di sini. Ada beberapa taxi company local, tapi harus call dan sometimes mereka nggak dateng tepat waktu. Saya pernah nunggu 45 menit buat taxi yang katanya “5 minutes away.”
Rental car sebenarnya option yang paling practical, tapi ada challengenya sendiri. Angin di Punta Arenas itu kenceng banget – saya pernah hampir nggak bisa buka pintu mobil karena anginnya. Parkir juga susah di downtown area, terutama pas weekend.
Baca Juga: Villarrica: Mendaki ke Kawah Lava yang Berkobar

Public transport ada, tapi route-nya limited dan schedule-nya nggak reliable. Bus kota mostly buat locals yang udah hapal rutenya. Buat tourist, walking + occasional taxi adalah kombinasi terbaik. Untungnya downtown area compact, jadi most attractions bisa dijangkau jalan kaki.
Cuaca yang Bikin Bingung Packing
Cuaca Punta Arenas itu literally “four seasons in one day.” Saya pernah dalam satu hari ngalamin cerah, hujan, angin kenceng, dan hampir snow. Packing jadi nightmare karena nggak tau harus prepare buat cuaca apa.
Pengalaman pertama saya salah kostum banget. Hari pertama saya pakai jaket tipis karena cuacanya cerah pas morning, eh siang-siang angin kenceng banget sampai jaket saya hampir terbang. Hari kedua saya overcompensate pakai jaket tebal, malah kepanasan karena ternyata hari itu relatif warm.
Tips layering yang saya pelajari dari trial and error: base layer (thermal underwear), mid layer (fleece atau sweater), outer layer (windproof jacket). Jangan lupa topi dan gloves, karena angin di sini bikin feel temperature turun drastis. Dan selalu bawa rain jacket, karena hujan bisa datang tiba-tiba.
Yang paling penting: sepatu yang proper. Saya sempat pakai sneakers biasa, tapi jalanan di Punta Arenas banyak yang cobblestone dan bisa slippery pas hujan. Invest in good hiking boots atau minimal waterproof shoes.
Budget Reality Check
Sebelum ke Punta Arenas, saya research budget di internet dan kebanyakan blog bilang “affordable destination.” Ternyata reality-nya beda banget. Chile emang mahal, dan Punta Arenas sebagai kota terpencil malah lebih mahal dari Santiago.
Breakdown honest pengeluaran saya per hari: accommodation (hostel dorm) 15.000 pesos, makan 20.000-25.000 pesos, transport 5.000-10.000 pesos, attraction entrance 3.000-5.000 pesos. Total sekitar 45.000-55.000 pesos per hari (sekitar 600-750 ribu rupiah). Itu belum termasuk shopping dan splurge dining.
Perbandingan dengan kota Chile lain: Punta Arenas sekitar 20-30% lebih mahal dari Santiago, tapi masih lebih murah dari San Pedro de Atacama. Yang paling expensive adalah fresh produce – buah dan sayuran harganya crazy karena harus diimport dari north Chile.
Tips hemat yang tested: belanja groceries di supermarket buat breakfast dan snack, makan lunch di warung local (bukan restoran tourist), take advantage of happy hour di bar dan restaurant (biasanya 6-8 PM), dan book accommodation dengan kitchen access buat masak sendiri.
Surprise expenses yang nggak kepikiran: laundry service (mahal banget, 8000 pesos per kg), phone data (sinyal lemah jadi boros kuota), dan souvenir yang surprisingly pricey. Oh, dan kalau mau ke Antartika, prepare budget minimal 2 juta USD – yes, dollars, bukan pesos.
Connectivity dan Digital Life
WiFi situation di Punta Arenas itu hit or miss. Di hostel dan hotel biasanya ada, tapi speednya inconsistent. Café dan restaurant juga provide WiFi, tapi kadang password-nya berubah-ubah atau connectionnya lemah.
Pengalaman beli SIM card lokal juga tricky. Operator utama (Entel, Movistar, Claro) ada, tapi coverage di area remote sekitar Punta Arenas patchy. Saya beli Entel prepaid, dan di downtown area oke, tapi pas keluar kota sinyalnya hilang.
Power bank is literally your best friend di sini. Kombinasi angin kenceng dan cuaca dingin bikin battery HP cepet habis. Saya pernah battery HP drop dari 80% ke 20% dalam 2 jam karena kepanasan terus kedinginan.
Social media reality: upload foto susah karena koneksi yang lemah. Instagram story yang biasanya upload instant, di sini bisa 10-15 menit. Tapi honestly, ini jadi blessing in disguise – saya jadi lebih fokus enjoy the moment daripada sibuk dokumentasi.
Punta Arenas sebagai Base Camp Antartika (dan Alternatif Lain)
Antartika Trip – Dream or Reality?
Research process buat trip ke Antartika itu overwhelming banget. Ada banyak operator, berbagai jenis trip (fly-cruise, ship-only, luxury vs budget), dan range harga yang crazy wide. Saya sampai spend 3 hari full cuma buat research dan compare options.
Price shock pertama: trip termurah sekitar 5.000 USD per person buat 6 hari, dan itu udah last-minute deal. Regular price bisa 8.000-15.000 USD. Luxury expedition bisa sampai 30.000 USD. Buat backpacker kayak saya, ini basically impossible.
Tapi ada alternatif yang lebih affordable. Antartika Experience punya program day trip dengan small plane – terbang di atas Antartika, landing sebentar, terus balik. Harganya “cuma” 1.200 USD. Masih mahal sih, tapi at least achievable.
Yang paling realistic adalah visit Museo Antártico dan Centro de Interpretación Antártica di Punta Arenas. Gratis, informatif, dan bisa kasih gambaran tentang Antartika tanpa harus spend fortune. Plus, sering ada exhibition tentang current research dan expedition updates.
Saya sempat ketemu sama couple dari Germany yang baru balik dari 10-day Antartika cruise. Mereka bilang experience-nya life-changing, tapi honestly mereka look exhausted. Seasickness, extreme weather, dan isolation ternyata nggak semua orang bisa handle.
Baca Juga: Salinas de Surire: Tarian Flamingo di Danau Ajaib
Torres del Paine – Plan B yang Ternyata Plan A
Awalnya Torres del Paine cuma backup plan karena Antartika terlalu mahal. Ternyata ini jadi highlight terbesar trip saya. National park ini cuma 3 jam drive dari Punta Arenas, dan pemandangannya absolutely stunning.

Saya pilih day trip pertama buat test the waters, dan langsung jatuh cinta. Granite towers yang iconic, Lago Nordenskjöld yang warnanya turquoise crazy, dan wildlife yang abundant – guanaco, condor, bahkan puma kalau lucky.
Transportation logistics dari Punta Arenas ada beberapa option: rental car (paling flexible), tour operator (paling convenient), atau bus publik (paling murah tapi limited schedule). Saya pilih join tour buat day trip pertama, terus rental car buat second visit.
Tips booking: weather dependency itu real banget. Saya sempat cancel trip karena forecast angin 100+ km/h. Seasonal variations juga significant – summer (Dec-Feb) paling ideal, tapi paling crowded dan expensive. Shoulder season (Oct-Nov, Mar-Apr) bisa jadi sweet spot.
Ushuaia Connection – Argentina vs Chile Side
Banyak yang bingung pilih Punta Arenas atau Ushuaia sebagai base buat explore “end of the world.” Saya sempat ke Ushuaia juga, dan ada pros cons masing-masing.
Border crossing dari Punta Arenas ke Ushuaia itu adventure sendiri. Harus lewat Tierra del Fuego, naik ferry, dan proses imigrasi di beberapa checkpoint. Total journey sekitar 5-6 jam, tergantung waiting time di ferry.
Perbandingan kedua kota: Ushuaia lebih touristy dan developed, dengan lebih banyak tour operator dan restaurant options. Punta Arenas lebih authentic dan less crowded, tapi limited options. Ushuaia lebih expensive, tapi infrastructure-nya better.
Personal preference saya: Punta Arenas buat authentic experience dan Torres del Paine access, Ushuaia buat Beagle Channel dan Tierra del Fuego National Park. Kalau cuma bisa pilih satu, saya pilih Punta Arenas karena less touristy dan more genuine local experience.
Refleksi Personal – Kenapa Punta Arenas Bikin Ketagihan
Slow Travel Revelation
Punta Arenas ngajarin saya tentang slow travel yang beneran. Nggak ada rush buat checklist attractions, nggak ada FOMO karena limited options. Saya jadi lebih appreciate small moments – ngopi sambil people watching, ngobrol sama locals, atau cuma duduk di pelabuhan ngeliat sunset.
Perubahan pace dari city rush ke small town rhythm itu therapeutic banget. Di Jakarta saya biasa schedule packed dari pagi sampai malem. Di Punta Arenas, satu hari cuma ngunjungin satu tempat udah cukup. Sisanya buat jalan-jalan santai, makan pelan-pelan, atau cuma istirahat.
Pengalaman ngobrol sama locals di sini genuine banget. Mereka nggak trying to sell anything, cuma genuinely curious about travelers dan happy to share stories. Dari conversation casual kayak gini saya dapet insight tentang life di ujung dunia yang nggak akan pernah saya tau dari guidebook.
Momen-momen unexpected yang jadi paling memorable: ketemu dengan researcher yang balik dari Antartika di café, diajak makan sama family local yang saya temui di museum, atau cuma ngeliat aurora australis dari hostel backyard (yes, sometimes bisa keliatan dari Punta Arenas!).
Sustainability Consciousness
Being di ujung dunia bikin saya lebih aware tentang fragile ecosystem. Pas visit Torres del Paine, guide-nya explain gimana climate change affect glaciers dan wildlife. Seeing the impact firsthand itu eye-opening banget.
Punta Arenas juga ngajarin saya tentang responsible travel. Karena kotanya kecil dan resources limited, every action punya impact. Saya jadi lebih conscious tentang waste, water usage, dan supporting local business instead of international chains.
Tips responsible travel yang saya pelajari: choose local operators over international companies, eat at family-owned restaurants, buy souvenirs from local artisans, dan respect wildlife guidelines pas visit national parks. Small actions, tapi collectively bisa make difference.
Yang paling striking adalah contrast antara pristine nature di sekitar Punta Arenas dengan signs of human impact. Plastic waste di pelabuhan, air pollution dari cruise ships, dan overtourism pressure di beberapa spots. Bikin saya mikir tentang balance antara tourism development dan conservation.
The Farewell Struggle
Momen di airport sebelum flight balik ke Santiago, saya beneran nggak mau pulang. Ada attachment yang unexpected ke kota ini. Mungkin karena pace yang slow, mungkin karena people yang genuine, atau mungkin karena feeling of being at the edge of the world.
Saya sempat browse flight options buat extend stay, tapi unfortunately visa dan budget nggak allow. Tapi saya udah planning return trip – maybe next time buat attempt Torres del Paine W trek, atau bahkan save up buat Antartika expedition.
Pesan buat future travelers: don’t come to Punta Arenas expecting typical tourist destination. Come with open mind dan readiness buat slow down. Appreciate the small things, engage dengan locals,
Tentang penulis: Budi Wijaya berdedikasi untuk berbagi pengalaman perjalanan nyata, tips praktis, dan perspektif unik, berharap membantu pembaca merencanakan perjalanan yang lebih santai dan menyenangkan. Konten asli, menulis tidak mudah, jika perlu mencetak ulang, harap catat sumbernya.